Rabu, 22 Juli 2009

energi alam

Saya sendiri sebenarnya penganut Tao, dan dalam Tao memang dikatakan bahwa ChiKung,
Thaici dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Mengenai topik Energi Alam ini
sebenarnya juga kurang cocok kalau menurut saya karena energi yang kita gunakan saat
berlatih taichi atau chikung itu berasal dari tubuh kita sendiri. Jadi saat kita
berlatih sebenarnya kita meng-amplify energi yang ada di tubuh kita sehingga dapat
berguna. Demikian , terima kasih.
--

On Thu, 6 Feb 2003 11:29:23
Harry wrote:
>Terima kasih atas tanggapannya. Sangat bermanfaat bagi saya.
>========
>From: "B.H. Jo" <[EMAIL PROTECTED]>
>To: <[EMAIL PROTECTED]>
>Sent: Wednesday, February 05, 2003 1:52 PM
>Subject: Re: [MLDI] Energi alam
>
>> Saya bukan ahli dlm. bidang dari ilmu2 Timur spt. tsb.
>> dibawah. Tetapi saya percaya berlatih Chikung, Yoga,
>> meditasi, Tai Chi akan sangat berguna utk. kesehatan.
>> Istri saya adalah seorang praktisi Taoist Tai Chi dan
>> sering melihat demonstrasi/mengiluti seminar dari
>> guru2-nya yg. sangat "hebat" tenaga dalamnya (chi).
>Dengan pola latihan itu (apakah juga memanfaatkan energi dari alam
>semesta?), seseorang bisa menjadi "hebat". Bagaimana itu bisa dijelaskan
>dari segi medis?
>Saya berpendapat bahwa ada missing link. Barangkali perlu dibentuk
>Perhimpunan Terkun (dokter yang berprofesi sebagai dukun) dan Perhimpunan
>Kunter (dukun yang sekolah dan menjadi dokter), dengan ditunjang oleh
>berbagai peralatan mutakhir yang canggih sehingga suatu saat kelak bisa
>diungkap secara fisiologis missing link tersebut. Bagaimana pendapat Dokar?
>======
>
>> Tai Chi boleh dibilang terkenal di Canada dan hampir
>> ditiap kota besar ada cabangnya utk. berlatih.
>Peralatan, ahli, serta dana rasanya cukup tersedia disana, namun adakah
>minat untuk menelitinya?
>======
>
>> Sangat disayangkan kalau orang2 di Indonesia tidak
>> menggunakan kesempatan utk. belajar ilmu2 Timur ini
>> (yg. sudah ratusan atau ribuan tahun umurnya dari
>> India dan China) karena tentunya banyak guru2 utk.
>> ilmu2 Timur ini. Sedangkan banyak orang2 Barat sangat
>> mengagumi ilmu2/spiritual Timur ini, yg. negara Barat
>> masih ketinggalan.
>Banyak juga ilmu "gaib", semacam santet/teluh. Pada tahun 80-an, di Bali
>pernah dibahas, dimana salah seorang peserta (Terkun) membawa foto-foto
>dokumenter yang menunjukkan paku, pecahan kaca, dll. keluar dari kulit
>pasien (ada darahnya juga), namun sesudah itu, tidak ada bekas sama sekali.
>Mestinya ini merupakan suatu tantangan (atau ejekan?) bagi dunia medis pada
>umumnya.

filsafat mengenal tuhan

Z: Hal yang paling jelas dan benar-benar jelas adalah ada. artinya
dengan tidak dijelaskanpun ada itu ada di akal kita. Tapi karena
tingkat kesadaran kita lemah. Untuk membedakan antara ada dan tiada
pun kita kerepotan minta ampun.

N: jika Ada adalah yang paling jelas, bahkan tanpa dijelaskan pun ia
ada di akal kita, maka bagaimana kesadaran bahkan yang paling lemah
pun tak menangkapnya? Jika kesadaran yang paling lemah tak dapat
menangkap Ada yang paling jelas itu, yang bahkan tanpa dijelaskan
pun ada di akal kita, artinya ada
kompleksitas tertentu dalam Ada tersebut, terdapat kekaburan
tertentu dalam Ada tersebut, sehingga Ada itu tak bisa disebut yang
paling jelas dan benar-benar jelas, yang ada tandap dijelaskan
sekalipun.


Z: Makanya kita membutuhkan suatu
penyadaran yang berpegang kepada nilai-nilai universal untuk
membedakan ada dan tiada. Tanpa berpihak kepada suatu ajaran apapun.
Adapun jika ada implikasi kesesuaian suatu ajaran dengan nilai-nilai
universal si ada maka itu merupakan kebenaran kedua yang harus
diterima setelah menerima kebenaran yang kesatu. Kebenaran yang
kesatu
adalah mengetahui dan memahami Ada dan Tiada (yang dengan
kedua-duanya kita menentukan kebenara) berdasarkan nilai-nilai
universal. Artinya argument universal, tidak relatif, tidak nisbi dan
dapat diterima oleh semua orang yang berakal.
Adapun jika suatu ajaran tertentu itu datang (menurut anda dogma)
setelah kita mengetahui kebenaran secara nilai-nilai universal dan
ternyata kedua-duanya sama. Maka tentulah ajaran tersebut merupakan
nilai-nilai universal juga. Bukan kepunyaan berdasarkan tempat,
negara, waktu, seseorang, individu, ras, dan hal-hal lain yang
bertentangan nilai-nilai universal.

Apakah yang disebut nilai-nilai universal? Jika terdapat nilai-nilai
universal, dalam pengertian alamiah, absolut, maka tidak ada
pertentangan nilai, semua nilai pasti homogen.


KIBROTO: Bertambah ribet lagi ketika disebutken bahwa kebenaran
hanya satu.
Nyatanya, praktis tiap orang punya `fantasi' sendiri2 tentang Tuhan
yang tidak pasti sama.

Z: 'apakah hubungannya kebenaran hanya satu dengan 'fantasi'?.
Jika fantasi dalam kata lain persefsi/gambaran akal/pikiran terhadap
sebuah informasi. Ya jelas jika anda sandarannya adalah
persefsi/gambaran akal tidak akan mendapatkan realitas
mutlak/kebenaran mutlak. Tapi jika anda menyesuaikan 'Apa yang ada
di dalam Akal anda' dengan kebenaran yang ada di luar baru anda
dapatkan kebenaran.
contoh: Jika anda membayangkan bahwa Tuhan duduk di kursi maka hal
itu tidak
benar karena tidak mungkin tuhan bertempat.
Jika anda membayangkan bahwa 1 + 2 = 4 maka itu tidak benar karena
yang benar adalah 1 + 2 = 3. Jadi untuk memperoleh kebenaran
sesuaikan pikiran anda dengan kebenaran yang ada diluar anda atau
sebaliknya.

N: Apa yang kau maksud dengan di luar di sini Zar Alkamal? Jika yang
kau maksud "di luar" di sini adalah yang indrawi, itu bertentangan
dengan tesismu sendiri, bahwa yang "indrawi" itu merupakan
ketiadaan, sehingga tak dapat menjadi verifikasi kebenaran atau Ada.
Dua contoh yang kau berikan "Tuhan duduk di kursi" dan 1+2=3 bukan
empat juga tidak menunjukan penjelasan apapun akan hal ini. Contoh
ketidakmungkinan "Tuhan duduk di kursi" karena Tuhan tidak mungkin
bertempat tidak dapat disesuaikan dengan kebenaran yang ada di luar
(dalam pengertian indrawi). Ketidakmungkinan Tuhan duduk di kursi
karena Tuhan tidak bertempat atau berada di luar ruang dan waktu
merupakan derivasi dari postulasi bahwa Tuhan sebagai sang pencipta
pastilah terlepas dari ruang dan waktu, karena ruang dan waktu
adalah ciptaannya. Dan postulat ini murni bermain di wilayah
penalaran atau akal atau fantasi dalam bahasa Ki Broto, yang dalam
logika Aristotelian disebut IMAGINATIVA. Demikian pula 1+2=3,
operasi penghitungannya juga merupakan wilayah IMAGINATIVA, bahwa
angka 1, 2, 3 mewakili kuantitas 1, 2, 3 di luar (fisik atau
indrawi) juga adalah wilayah IMAGINATIVA. Untuk lebih jelasnya mari
kita lihat fenomena menjarang air Hume.
Ketika kita menjerang air di atas api, dan kemudian mendidih kita
mengatakan air mendidih karena api. Secara indra fenomena yang
ditangkap adalah air dalam sebuah wadah yang diletakan di atas api.
Kesimpulan bahwa air mendidih karena api merupakan sebuah proses
rasionalisasi, yang berada di wilayah imajinasi. Seluruh silogisme
merupakan IMAGINATIVA.

Z:Tuhan adalah pencipta. dan makhluk adalah yg dicipta.Jadi sudah
suatu keharusan sesuatu yg dicipta memasuki aturan yg pencipta. Jika
tidak tentu dia akan keluar dari jalurnya. Alias bukan pencipta
ataupun yg dicipta

N: Jika keluar memang kenapa? Apa yang mengharuskan ciptaan memasuki
aturan pencipta? Mengapa ia tidak "sudah seharusnya membunuh
penciptanya"? Meludahi mukanya? Jika ia keluar jalur apakah itu
merubah eksistensinya sebagai yang dicipta?

Z: Jika terindra itu benar perhatikan contoh-contoh di
bawah ini: Kursi, apakah benar kursi itu ada sebagai realitas
mutlak? Tidak, kursi adalah kayu, plastik,atau bahan lainnya yang
berbentuk sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai alat
duduk. Kita memahami itu kursi, tapi secara terindra bukan kursi
karna pada kursi ada kayu dan ada paku. Ingat rumah itu tidak ada
tapi yang ada itu jendela, atap, lantai, dinding dan isi rumah.
Ingat, tembok itu tidak ada tapi yang ada adalah tanah, bata dan
semen. Ingat anah itu tidak ada yang ada adalah unsur-unsur tanah.
Unsur-unsur tanah itu tidak ada yang ada adalah kumpula atom. Atom
itu tidak ada yang ada adalah elektron, proton, dan netron.
Elektron, proton, dan netron itu tidak ada yang ada adalah . . . .

N: Zar kamal, kursi, rumah, tembok, jendela, itu konsep, itu wilayah
rasio, akal, atau IMAGINATIVA, belajarlah lebih banyak tentang kausa
Aristoteles. Dan bandingkan penjelasanmu ini dengan penjelasanku
tentang fenomena "menjarang air HUME".


Z: yang merasa dirinya benar siapa? lalu siapa yang benar/salah? Jika
saya salah maka tolong dimana letak yang salah! Jangan ancam
mengancam
dengan mengutip perkataan Nabi Musa. Jika Anda yang benar maka dengan
senang hati saya menerima kebenaran itu. Tapi jika anda yang salah
sudah menjadi kewajiban saya membenarkan yang salah. Tentunya harus
dipertanggungjawabkan.

N: Oh jadi kau ingin mengatakan bahwa apa yang kau katakan salah.
Kau tidak malu ngomong seperti itu: "Yang merasa dirinya benar
siap?"; Apakah aku mengancam Zar Alkamal? Atau itu ketakutanmu? Kau
takut pada maut? Bagaimana kau bisa bicara kebenraran jika kau takut
pada maut? Itulah sebabnya terdapat ayat: Takut akan kematian adalah
tanda-tanda kekafiran. Pakailah sedikit otakmu, apakah artinya
perkataan Musa tersebut? Bahwa jika kau sampai pada kebenaran
tertentu kau harus meninggalkannya dan mencari kebenaran yang lebih
jauh, itulah mengapa Musa harus belajar kepada Khidir, bangun pikir
positif (sistem benar x salah, ada x tiada) yang disimbolkan dengan
tongkat Musa harus dipatahkan dan dilempar ke tanah, Musa harus
belajar untuk menarik hubungan-hubungan, garis-garis, bahkan dari
hal-hal yang tidak berhubungan (inilah yang disebut ilmu laduni,
atau jeniusitas dalam definisi Aristoteles, bisa pula disebut indra
keenam, karena sesungguhnya operasi dalam indera keenam adalam
kecerdasan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut), untuk
membaca tanda-tanda, qiyas-qiyas dan mengambil hikmah, tanpa henti.


Z: "Kebenaran tak pernah menjadi air, ia adalah batu, sebab itu
setiap
kebenaran harus dipenggal seperti Ibrahim memenggal kepala Latah,
uzah, Watan dan Sanam." Tentu kalimat diatas adalah bukan kalimat
yang berdasarkan
sistematika logika yang benar. Karena Kebenaran tak pernah menjadi
air, ia adalah batu,
jadi kebenaran adalah batu (mustahil).

N: Tergantung apa yang kau sebut sistematika logika yang benar.
Kalau yang kau maksud adalah seperti yang kau tuliskan: "Kebenaran
tak pernah menjadi air, ia adalah batu, jadi kebenaran adalah batu".
Jawabannya adalah Ya. Tetapi jika yang kau maksudkan dengan
sistematika logika yang benar adalah: "Tuhan adalah air
kebenaran adalah batu, maka kebenaran bukanlah Tuhan." Jawabannya
tidak. Dalam logika Aristotelian atau dalam silogisme, preposisi
mayor hipotesis, preposisi minor kategoris, konklusinya kategoris.

Bahkan menyusun proposisi saja kau tidak bisa. Begitu ingin
berbicara tentang logika denganku? GOBLOK JANGAN KEBANGETAN, AKU SIH
TIDAK PINTER TAPI TIDAK SEIDIOT DIRIMU.

Sekarang, untuk memahami silogisme, maka kau memerlukan referensi,
sebab proposisi-proposisi itu tidak mencukupi, tidak definitif,
kenapa, karena sebelumnya aku telah mengirimkan referensi mengenai
Tuhan yang berarsyi di atas air, yang merupakan simbolisasi dari
YANG TIADA karena keberadaannya mengatasi ruang dan waktu, dan Ada
selama ini selalu dipahami sebagai Yang Meruang dan Mewaktu, Ada
sebagai Kehadiran. Karena ia merupakan YANG TIADA, maka ia bersifat
amoral, tak dapat dikenai baik dan buruk, benar dan salah. Memasukan
Tuhan sebagai YANG ADA, sehingga ia memiliki baik dan buruk, benar
dan salah, adalah sebuah pemberhalaan. Pengen bukti dari
pemberhalaan ini: Tuhan itu ada berapa Zar Alkamal? Ada satu!
Penghitungan atau kuantifikasi Tuhan adalah contoh nalar dari Ada
sebagai Kehadiran, konsekwensi logis dari Tuhan sebagai YANG ADA,
sebuah antropomorfisme, yaitu pemberhalaan sesungguhnya (Pemberhalan
selama ini dipahami sebagai penyembahan patung, tanyakan pada mereka
yang biasa ditunjuk sebagai penyembah patung itu apakah yang
sesungguhnya mereka sembah, patung atau dewa atau Tuhan yang
diwakili oleh patung-patung tersebut)

Tuhan sebagai YANG ADA juga membuat pemahaman-pemahaman akan SHOLAT
sebagai komunikasi, sebagai usaha terus menerus untuk berdialog atau
berdialektika dengan Tuhan Yang Tiada, Tuhan yang tak berbentuk tak
berupa, tak meruang dan mewaktu, sehingga harus dilakukan terus
menerus, direduksi menjadi PENYEMBAHAN, aksi yang biasa dilakukan
terhadap berhala-berhala, kebenaran-kebenaran. Apakah Tuhan perlua
disembah? Tidak. Jika ada Tuhan yang gila kuasa seperti itu, akulah
yang pertama mengapaknya.


Z: kebenaran harus dipenggal seperti Ibrahim memenggal kepala Latah,
uzah, Watan dan Sanam. Itu terjadi jika yang berkuasa adalah orang
zalim. Yang mensalahkan orang yang benar. Melalui eksekusi-eksekusi
pemenggalan.
Sy sangat keberatan ketika kalimat "kebenaran harus dipenggal seperti
Ibrahim memenggal kepala Latah, uzah, Watan dan Sanam. " disatukan
karena tidak nyambung. Lihat sistematikanya: kebenaran harus
dipenggal (benar jika yang berkata orang zalim tapi menurut saya
salah) Ibrahim memenggal kepala Latah, uzah, Watan dan Sanam. (Benar
menurut sejarah yang anda ketahui).
pernyataan satu dan kedua benar keduanya tapi gak nyambung. ya tentu
tidak dapat diterima.

Karena kalimat tidak logis maka berarti ini datang dari emosi anda
ya!
rasul bersabda"Bukanlah orang yang paling kuat itu adalah orang yang
pandai Gulat, tapi orang yang bisa menahan emosinya"

N: OTAKMU ITU YANG NGAK NYAMBUNG. Mari dirunut, dengan referensi
pada keterangan sebelumnya: Jika Tuhan adalah air, dan kebenaran
adalah batu, dan dengan demikian memiliki sifat-sifat yang dapat
diperbandingan dengan berhala, ia harus dipenggal seperti Ibrahim
memenggal kepala latah, uzah, watan, dan sanam. Artinya
kebenaran=batu=berhalanisme.

Ketiga prinsip Aristoteles, identitas-kontradiksi-penyisihan,
disebut juga judgment system. Pada mulanya ditentukan dulu kategori-
kategori, kategori A dan oposisinya –A, lalu ditentukan mana yang
masuk A mana yang masuk –A. Proses penilain yang didasarkan pada
kategori-kategori yang disusun sebelumnya atau mendahului ini,
apriori dalam bahasa Kant, dalam lapangan ilmu logika atau penalaran
disebut ROCK LOGIC, LOGIKA BATU. Sebab kategori-kategori itu, yang
berusaha disusun begitu kuatnya dalam sebuah rasionalisasi, dan
bahkan naturalisasi hingga terasa tidak bisa lagi dipertanyakan,
absolut, yang kemudian disebut POSTULAT atau AXIOMA, menjadi BATU
LANDASAN bagi seluruh sistem penilaian. Jika BATU itu keropos maka
seluruh PENILAIANNYA keropos. Seluruh sistem KEBENARAN berdiri di
atas LOGIKA BATU, tanpa itu tidak dapat dibangun sebuah sistem
kebenaran apa pun.

Di samping ROCK LOGIC terdapat apa yang disebut FLOW LOGIC. Berbeda
dengan ROCK LOGIC, FLOW LOGIC tak berangkat dari apriori-apriori
tertentu, pertanyaan yang diajukan bukan "Apakah itu?"
tetapi "Bagaimana itu?", "Mengapa itu?". Fokus dari FLOW LOGIC
bukanlah penilaian, atau penyisihan, tetapi pemahaman.

FLOW LOGIC disebut juga WATER LOGIC, karena sifat-sifat air yang
mengalir, tidak berbentuk, tidak berwarna, atau tanpa identitas,
kecuali identitas wadahnya. FLOW LOGIC pertama-pertama melakukan
sebuah affirmasi, kemudian mengajukan pertanyaan mengapa dan
bagaimananya (Vorsicht), dan selanjutnya melakukan displacement yang
akan menjadi konsep selanjutnya (Vorgriff),

Dua logika tersebut karena sifat-sifat yang diwakili dari air dan
batu, , sebagaimana dalam banyak kebudayaan air seringkali
dilawankan dengan batu, bahkan lebih dari itu kekuatan air sering
dimenangkan dalam oposisi tersebut (di Sunda ada pepatah yang
menggambarkan bagaimana air dapat melubangi batu, di China kita
mendapatkan THAICI, jurus air yang selalu berhasil mengalahkan jurus-
jurus bumi, seperti TINJU BESI, atau semacamnya. Dalam FLOW LOGIC,
dipakai pula ROCK LOGIC, hanya saja dipahami benar sifat-sifat
kesementaraan dari batu-batu dalam ROCK LOGIC, terutama pada stasi
affirmasi.


DAN INTERPRETASI APA INI :"Itu terjadi jika yang berkuasa adalah
orang zalim. Yang mensalahkan orang yang benar". Interpretasi UDIK
kayak gini kau pamerkan padaku, dan mengaku pintar gulat? Apa karena
ada Ibrahim di sana yang secara apriori kau anggap benar? Aku
bertanya, jika kutebang cungkup masjid karena orang-orang telah
memberhalakan Allah, siapakah yang zalim? Para "penyembah berhala"
itu sama merasa benarnya dengan Ibrahim, bahkan masuk lebih dalam
pendapat Ibrahim bahwa Berhala tidak bisa memberikan apa-apa
sehingga tidak boleh disembah, adalah pernyataan yang tidak bisa
dipertanggung jawabkan, karena penyembah berhala tidak pernah
menyembah berhala an sich, dan apa itu pembuktian fungsionalis
Tuhan, bahwa Tuhan seharusnya bisa memberi yang kita minta? Apakah
kalkulasi-kalkulasi ekonomis seperti itu yang seharusnya dibangun
dalam relasi manusia dengan Tuhan; pahala 7 x lipat, surga dengan
bidadari cantik. Lalu mana prinsip keikhlasan. Maka jangan heran
jika Islam menumbuhkan mental-mental koruptif.


Z: " Aku bertanya kepadamu Zar kamal, apakah kau ingin memberhalakan
Tuhan. memberhalakan Allah yang bahkan telah menyatakan dirinya
sebagai yang berarsyi di atas air, tak berbentuk tak berupa? Apakah
kau juga ingin memberhalakan qur'an dan Muhammad?"
Siapa yang memberhalakan Allah? Apakah ada pernyataan saya akan hal
itu. Saya menjelaskan tentang "istiwa alal arsyi" bukan berarti Allah
diam di arsyi. Jika diam berarti bertempat jika bertempat berarti
makluk. Masa Allah disamakan dengan makhluk. (Pembasannya panjang).
Jadi pernyataan Anda telah menyamakan Allah dengan makhluk dengan
menafsirkan "istiwa alal arsyi" Allah berarsyi di atas air.
Apakah kau juga ingin memberhalakan qur'an dan Muhammad?
Anda tahu kalimat diatas anda telah menuduh seseorang kafir, musyrik.
Sedangkan anda tidak dapat membuktikan kekafirannya dan
kemusrikannya.
Jika anda menuduh tanpa bukti maka anda akan mendapatkan hukuman
bahwa
barang siapa yang menuduh seseorang muslim musyrik maka tuduhan itu
akan kembali ke dirinya sendiri.

N: PENGECUT TIDAK TAHU DIRI. Segala sesuatu tidak harus eksplisit
DONGOK. Kecuali kau orang Samin. Sekarang kau tahu di mana letak
kemusrikanmu? Kau takut dituduh musyrik? Aku tidak. Apakah yang
kutakutkan ketika aku tidak lagi merindukan surga, dan tidak takut
pada neraka?

Sekarang tentang "istiwa alal arsyi", apakah aku
menginterpretasikannya secara heuristik seperti itu, sebagaimana
yang telah kau tuduhkan. Tidak pernah. Allah berarsyi di atas air
aku jelaskan secara allegoris, bahwa dengan penggambaran itu artinya
Allah tidak bisa dikenakan prinsip identitas, Allah tidak bisa
dijelaskan dalam term-term YANG ADA. Lalu dari mana pikiranmu bahwa
aku menginterpretasikan bahwa Alla duduk menempati ruang? Apa bukan
dalam pikiranmu sendiri, alam bawah sadarmu sendiri, yang kau
proyeksikan pada diriku? Sebab YANG ADA SELALU MENEMPATI RUANG DAN
WAKTU.

ATAS TUDUHANMU ITU, MAKA SIAPAKAH KINI YANG MENUNJUKAN SATU JARINYA
KE DEPAN SEMENTARA KEEMPAT JARINYA MENUNJUK DIRINYA SENDIRI. HA HA
HA....

Z: Gini kang, Kemunduran kaum muslimin adalah terjadi ketika ilmu
tentang
kebijaksanaan telah dihilangkan (ilmu filsafat, ilmu logika). Secara
historis anda membrowsing. Karena ilmu2 tersebut merupakan kaidah
dasar untuk menyusun cara berpikir logis. Jika orang tidak
mempelajari
ilmu2 tsb maka orang tidak dapat menyusun cara berpikir logis. Jika
tidak berpikir logis tidak beraturan alias tidak berakal. Apakah
ajaran Allah diberikan kepada orang-orang yang tidak berakal, cara
berpikir yang tidak beraturan, tidak bisa membedakan antara
benar/salah, ada dan tiada. Saya kira tidak kang.

N: KEMUNDURAN KAUM MUSLIMIN YA KARENA ORANG-ORANG SEPERTIMU ITU,
YANG TIDAK PERNAH BELAJAR TEKUN TAPI SUKA BUANG KENTUT, YANG HANYA
MENGULANG DOGMA-DOGMA LAMA TANPA MEMIKIRKANNYA KEMBALI, YANG MEMBACA
ATAS NAMA TUHAN TANPA MENGINGAT DIRINYA ADALAH SEGUMPAL DARAH.
JANGAN SALAHKAN ORANG BARAT, ATAU SIAPAPUN DI LUAR DIRIMU. LAGI PULA
PENDAPATMU TENTANG ORANG BARAT YANG ATHEIS TERLALU MENGENARALISIR,
BACA LAGI SEJARAH FILSAFAT ISLAM, BAHKAN SEJARAH AGAMA-AGAMA.

Zar Alkamal, sungguh kau ini masih mengkal, sama sekalih mentah
bahkan. Kau tahu kenapa. Seorang cantrik (murid) tidak pernah
diperbolehkan bicara, bahkan ketika ia dizalimi? Sebagai seorang
murid ia harus berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, berpikir
luas, dua kali, jauh kedepan, terbuka (kemungkinan pendapat kita
perlu direvisi atau ditinggalkan keseluruhannya atas dasar informasi
yang baru), kritis (introspeksi-retrospeksi), dengan demikian ia
bisa mendapatkan hikmah atau pikirannya sendiri.

Mengapa aku sampaikan kepadamu sikap-sikap seorang murid, karena
sikap-sikap itu juga merupakan pedoman dalam penalaran atau logika,
sesuatu yang kau agul-agulkan, bahkan hingga kau pun tak dapat
membedakan mana akal, mana penalaran, dan selanjutnya mana penalaran
dan mana penalaran Aristotelian. Silogisme (Yang sesungguhnya
merupakan bentuk penalaran Leibniz yang diletakan atas prinsip-
prinsip identitas, kontradiksi, dan penyisihan, namun secara umum
dikaitkan dengan Aristoteles dan disebut Aristotelian—Silogisme
merupakan bentuk penalaran deduktif dari prinsip cukup alasan yang
ditambahkan oleh Leibniz pada penalaran Aristotelian) hanyalah salah
satu bentuk penalaran, hanyalah salah satu bentuk logika, ada banyak
sistem logika atau penalaran dalam sejarah filsafat atau sejarah
pemikiran manusia. Bahkan dalam pencampuradukan ini kau telah
menyalahi prinsip "identitas Aristotelian", atau "silogisme
kategoris", atau dalam terma-terma logika simbolik, "logika
himpunan".

Inilah penalaran implisit dari kesimpulanmu:

Mayor: Logika adalah ilmu penalaran
Minor: Logika Aristoteles adalah sebuah ilmu penalaran.
Konklusi: Ilmu penalaran adalah logika Aristoteles.

Tentu saja fallacy ini dapat dimaafkan, karena agaknya lahir dari
kekurangan data dan ketergesaan mengambil kesimpulan.

Mengapa dapat dimaafkan?

Silogisme adalah penalaran formal, ia tidak menggubris isi dari
sebuah pernyataan atau data, ia tidak menguji proposisi tetapi
penarikan kesimpulan. Sebab itu silogisme tidak pernah membawa
pemahaman baru, ke "kebenaran" (kata kebenaran diberi tanda kutip,
sebab kata ini, seperti kata lainnya dipergunakan dalam makna yang
berbeda-beda, dalam kebenaran yang berbeda-beda – penggunaan kata
ini saja menunjukan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, tidak
ada makna absolut, satu, tidak ada petanda terakhir, bahkan ketika
kau menyebut kata "Tuhan" atau lebih khusus lagi "Allah", tidak usah
diperbandingkan dengan orang lain, tetapi saat-saat di mana kau
mengucapkannya, memiliki makna atau isi yang berbeda. Aku beri
contoh: ketika kau mengucapkan "Tuhan" pada saat sedih atau marah
atau bahagia, makna dalam kata "Tuhan" itu sendiri tidaklah sama.
Kau akan mengatakan, "Tetapi ia mengacu pada Tuhan yang sama, Tuhan
Yang Menciptakan Langit dan Bumi, Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhan
yang Maha Besar. Baiklah, tetapi Tuhan Yang Menciptakan Langit dan
Bumi yang mana, Tuhan yang Maha Besar yang mana, Tuhan yang Maha
Pengasih yang mana? Dari tiga kondisi saat kau mengucapkan Tuhan,
paling tidak kau mendapatkan Tuhan sebagai Penolong (sedih), Tuhan
sebagai Penjahat (marah), Tuhan sebagai Dermawan (bahagia). Atas
dasar kesejarahan silogisme yang nostalgik, yang menuju masa lalu,
itulah maka Bacon menolak logika Aristotelian.

Problem laten dari silogisme adalah kecukupan atau keluasan atau isi
premis. Seberapa cukup premis-premis sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang benar. Jika kecukupan atau keluasan atau isi itu
tidak pernah tercapai bagaimana dapat ditarik sebuah kesimpulan yang
benar, bagaimana dapat ditemukan sebuah kebenaran, apalagi kebenaran
yang universal, meliputi segalanya, merangkum segalanya.

Jika kau mempelajari logika Aristotelian, kau akan mendapati bahwa
proposisi metaforik tidak dapat dinilai, yang dapat dinilai adalah
proposisi yang definitif, artinya Subjek lebih kecil dari predikart
(Sidentitasnya diasumsikan semakin jelas, tetapi itu tidak pernah
tercapai.

"Siapakah Zar Alkamal?" katakanlah, ia adalah laki-laki berumur 18
Tahun, anak pasanagan A& B, tinggal di daerah C, pelajar atau
pegawai D, punya adik , F, G, H, dari keluarga baik-baik....

Tapi apakah laki-laki? Sebut saja ia dikontraskan dengan perempuan,
makah apakah perempuan, mengapa laki-laki berbeda dengan perempuan?
Dst. Apakah arti 18 tahun? Dalam sistem penanggalan atau
penghitungan waktu apa? Apakah 18 tahun itu dapat diartikan sebagai
usia mental atau fisik, apakah arti dari 18 tahun secara
fisik?...Dst, pertanyaan ini tidak akan pernah usai, identitas Zar
Alkamal tidak pernah diketahui sungguh-sungguh. Identitas Zar
Alkamal atau apapun hanya dapat diketahui dalam kesementaraan. Belum
lagi berhadapan dengan perubahan-perubahan kualitas atau koordinat
dari subjek (dalam lapangan lingustik dua hal tersebut disebut
konteks dan koteks) misalnya, apakah Zar Alkamal 19 tahun sama
dengan Zar Alkamal 18 tahun, apakah Zar Alkamal detik ini sama
dengan detik sebelumnya atau detik selanjutnya, apakah Zar Alkamal
di ruang A sama dengan Zar Alkamal di ruang B? Dalam prinsip
identitas Aristotelian jawabannya adalah tidak, seberapa pun Zal
Alkamal A dan B memiliki kesamaan ia merupakan sesuatu yang berbeda.
Lalu bagaimanakah orang mengenal atau mendefinisikan Zar Alkamal?
Lewat generalisasi, dan itu tidak definitif, dan karena tidak
defintif, ia tak dapat diukur, tak dapat ditentukan kebenaran atau
kesalahan dari pengenalan tersebut, yang entah bagaimana dalam
pemahaman banyak orang mengenai ilmu logika, generalisasi, seperti
halnya tautologi, dan beberapa penarikan kesimpulan lain, dianggap
salah, tidak logis. Padahal ia merupakan sistem penalaran lain yang
oleh Aristoteles disebut sebagai logika tradisional, dan dibedakan
dengan logika ilmiah (simbolik maupun formal).

Bahwa proposisi definitif itu tidak mungkin, sehingga menggagalkan
seluruh proyek silogisme, kecuali dalam kesementaraan, hanyalah satu
hal. Marilah kita masuk lebih lanjut pada metafor atau yang
metaforik dalam kaitannya dengan logika Aristotelian, dengan
mengajukan pertanyaan, adakah sesuatu di luar yang metaforik?

Jika bahasa adalah cara manusia mengenal, memahami, dan
menggambarkan realitas, maka tidak ada sesuatu di luar yang
metaforik, termasuk kata metafor itu sendiri, yang diambil dari
sebuah jargon (jargon biasa diartikan sebagai bahasa khusus dalam
lapangan ilmu pengetahuan tertentu—di Indonesia kata ini
mendapatkan konotasi negatif, menjadi semacam "omong kosong") dalam
ilmu teknik. Aristoteles mendefinisikan metafor sebagai penggantian
satu dengan lainnya, transegeresi terus menerus dari genus, ke
species, dan lain sebagainya, atau sebaliknya, tanpa awal atau
akhir. Walaupun Aristoteles mengajukan definisi seperti itu namun
dalam prakteknya ia mensyaratkan metafor di atas simetri, yang
artinya mengandaikan adanya sebuah awal atau akhir yang menjadi
matriks dari sebuah metafor. Ini adalah sebuah kontradiksi, yang
muncul karena dorongan-dorongan akan being as presence, ada sebagai
kehadiran, sebuah logosentrisme, atau logologi, yang bentuknya
seperti pemahamanmu akan Tuhan=Ada=Makna=Realitas=Kebenaran.

Selanjutnya, jika tidak ada yang tidak metaforik, jika semuanya
adalah metafor, tak ada apapun yang bisa dilakukan oleh silogisme,
sebab ia tak memiliki landasan ontologis dan atau epistemologis.
Tanpa identitas definitif = tidak ada kontras = tidak ada penyisihan
(eksklusi/inklusi)= tidak ada kecukupan alasan=tidak ada atau tidak
bisa ditarik konklusi atau penilaian benar/salah.

Selasa, 21 Juli 2009

MEMBUAT PILIHAN

Syalom teman-teman…

Huff hari ini saya akan berbagi mengenai apa itu yang disebut dalam membuat pilihan. Okey,perikopnya diambil dari ulangan.

Ulangan 30:19-20a
Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya.

Teman seringkali kita dihadapkand alam pilihan dalam kehidupan itu sendiri bahkan kita seringkali mendapatkan pilihan itu terkadang dirasa salah dan tidak benar. So bagaimana cara kita membuat pilihan didalam tangan dan hadirat Tuhan ??

Teman, pahami dulu apa yang dimaksud dengan kedewasaan. Inti dari kita membuat pilihan yang berhikmat ialah apakah diri kita sudah mencapai tahap dewasa ?

Kedewasaan adalah menerima tanggung jawab sebagai siapa kita. Kepribadian kita tidak dibentuk sepenuhnya oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi pada bagaimana kita meresponinya.

KEDEWASAAN TIDAK DIUKUR DARI USIA, TETAPI DARI PENERIMAAN TANGGUNG JAWAB

Nah teman bagaimana kita bisa mengambil tanggung jawab apabila seringkali kita menyalahkan orang lain dan tidak mau menggambil risiko. Untuk itu teman, teguhkanlah hatimu ya teman. Didalam nama Tuhan Yesus engkau pasti dapat mengambil tanggung jawab itu sendiri. Jangan takut dan jangan ragu. Ingatlah bahwa Bapa selalu berserta mu dan mendampingimu.

Kedua ialah menahan diri. Teman hal ini adalah yang cukup sulit dimana kita harus selalu menghapuskan pikiran negatif dalam diri kita. Mulanya sulit tetapi apabila kita berdoa dan berusaha memilih untuk mengampuni maka jalan tersebut alangkah akan lebih mudah.

Kalau ada kebencian ditujukan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada kata-kata yang tajam dan menyakitkan ditusukkan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada perlakuan tidak adil diberikan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Banyak bentuk-bentuk emosi diperlihatkan sebagai pilihan reaksi. Beberapa di antaranya tampak benar dan wajar-wajar saja. Marah, kecewa dan sakit hati adalah reaksi alami dan paling umum dari seorang manusia.

Ingatlah bahwa kita selalu punya pilihan dalam menentukan itu semua. Power of Decision yang Bapa berikan selalu hadir didalam setiap godaan dan cobaan iblis yang datang dalam kehidupan kita. Iblis tidak akan senang apabila kita bereaksi layaknya Kristus bertindak. Iblis akan gentar ketika pribadi dan jiwa-jiwa dipulihkan dan dimenangkan.

Iblis seringkali menyerang kita dalam rupa emosi dan iri hati (Haduh.. saya juga seringkali diserang akan hal ini..Secara gak langsung saya jadi pengakuan gini..heheh) tapi perlahan ketika perasaan dan emosi itu datang selalu sebut nama Kristus dan berdoa penuh maka pikiran kita akan lebih terbuka.

Pejamkanlah matamu teman, berdoa dan mintalah hikmat Tuhan.

Maka Tuhanmu di surga akan mengubahkan hidup, pikiran dan iman rohani mu.

Biarlah kita belajar menerima tanggung jawab, bahwa kita punya kuasa untuk memilih, dan apa yang kita pilih akan menentukan menjadi apakah kita di masa mendatang.

Karunia Allah terbesar bagi kita adalah karunia untuk memilih.

EMOSI

Ternyata tidak semua emosi yang terpancarkan di wajah kita dapat dimengerti oleh semua orang
lho?
Mungkin sebagian berpikir “emangnya kagak liat apa? wajah gue udah manyun kayak gini tapi kagak ngeh juga?”
atau
“Ya ampun, aku kan udah pasang senyum manis kayak gini!”

Yah… memang bisa terjadi kok

Dari buku yang baru saya baca, ternyata…
orang dewasa-tua mempunyai kemampuan yang lebih buruk daripada orang dewasa-muda dalam mengenali ekspresi wajah negatif—ketakutan atau rasa muak, misalnya. Penemuan ini memberikan dukungan pada hipotesis penuaan-belahan kanan—sehingga, saat kita menua, belahan kanan cenderung menurun lebih cepat daripada yang kiri. Barangkali, itulah sebabnya kemampuan-kemampuan otak kiri tertentu yang “terkristal” seperti ukuran kosakata tidak menurun secepat itu ketika kita semakin tua, jika dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan otak-kanan tertentu yang “cair”, seperti penalaran spasial abstrak dan pengenalan wajah. Dalam sebuah kajian mutakhir, orang dewasa muda dan tua diminta untuk menunjuk foto-foto wajah untuk mengelompokkan emosi (“Bahagia”, “Ketakutan”, dan sebagainya). Subjek yang lebih tua menunjukkan kemampuan jauh lebih buruk daripada yang muda dalam mengenali ekspresi negatif, tetapi yang muda menunjukkan kemampuan jauh lebih buruk dalam mengenali wajah bahagia.
(Dicuplik dari buku “Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik” yang ditulis oleh David Gamon, Ph.D. dan Allen Bragdon yang telah disulih bahasakan)

Wah wah… tapi sebagai orang psikologi, tentunya harus peka terhadap berbagai emosi yang terlihat dari ekspresi ataupun gerak tubuh lainnya. Yup, harus terus belajar setiap hari.
Tiada hari tanpa belajar!

BENTUK KEPIMPINAN

Bentuk Kepemimpinan Non Teknis Versi Romailprincipe…!

Aspek Non Teknis, merupakan hal yang sangat sering terlupakan oleh saya ketika berada dalam garis depan sebuah sistem (atau organisasi). Ketika kepala disibukkan hal-hal teknis yang mendetail dan mendalam, sering sekali banyak hal terlewatkan dan sulit meraih hasil optimum dari kegiatan yang saya organize.. Pengalaman menunjukkan ketika saya melewatkan sebagian waktu memimpin dengan faktor non teknis (semasa di kampus) hasil yang diraih sangat optimal sebaliknya saat merepotkan diri dengan hal-hal teknis maka saya kehilangan banyak hal. Atas dasar itu saya sering memikir-mikirkan hal-hal seputar kepemimpinan non teknis yang bisa meraih hasil baik secara keseluruhan…

Patut disadari betapapun banyak buku yang dilalap, sebagian besar dipastikan sulit menerapkannya, namun bacan itu memperkaya wawasan berpikir dan membuat nyaman dalam menemukan gaya kepemimpinan. Kaitannya dengan kepemimpinan non teknis, secara natural saya menyadari banyak dipengaruhi buku dan kegiatan perkuliahan yang saya ikuti. Semisal gaya memulai dari hal-hal terkecil dalam suatu kegiatan adalah implementasi dari perbaikan terus menerus ala Jepang, gaya menampilkan pencapaian dalam grafik dan tabel adalah visualisasi dari statistical process control, mengadakan analisa mendalam mengenai faktor eksternal dan internal merupakan bawaan dari Analisa SWOT dan Teori Perang Tsun Zu.. Jadi dalam membentuk kepemimpinan non teknis, banyak faktor dipengaruhi oleh wawasan dan buku yang dibaca.

Berikut beberapa hal kepemimpinan Non Teknis :

  1. Jangan lupakan Personal. Sisi personal adalah sisi penting dalam bekerja sama. mengutamakan pendekatan yang personal, duduk bersama dan membicarakan hal-hal pribadi akan menjadi pintu masuk pembuka untuk menyelesaikan masalah dan pekerjaan. Contoh nyata, berbicara di kedai kopi kecil dan membicarakan tentang keluarga rekan kerja akan mendekatkan sisi personal dengan rekan kerja kita.
  2. Mengkritik pada tempat yang tepat, Mengkritik seluruh pekerjaan anak buah dan memalukan mereka bagi beberapa orang bisa saja cara yang efektif untuk memotivasi. Tapi apakah itu benar-benar efektif?Saya memilih mengkritik pada saat yang tepat dan melihat karakter orang yang dikritik. Contoh riil adalah mengkritik di meja kerja, saat berdua saja dengan rekan kerja, dan mencari solusinya bersama.
  3. Melakukan kontrol dengan menawarkan bantuan, semisal berkata “gimana pak mengenai pekerjaan A?”, “kesulitannya diman?”..”Ayo, kita briefing nanti dengan anak-anak..”.. Sembari menawarkan bantuan, orang yang kita pimpin akan merasakan empati yang luar biasa dan melakukan effort yang berbeda. Menurut pengalaman saya, cara ini lebih efektif dibanding memanggil dan memarah-marahi. Ada kalanya panggilan dan penegasan di meja sangat perlu dilakukan, tetapi energi yang dikeluarkan sangat besar.
  4. Mengajak Olahraga bersama, banyak sekali jenis olahraga bersama. Selain bermanfaat untuk kesehatan, olahraga dapat mengetahui watak asli rekan2 kerja dan menjadi ajang pendekatan personal yang efektif.
  5. Mengetahui kebutuhan anak buah dan mencoba memenuhinya, suatu ketika ada rekan kerja saya yang sulit dihubungi, karena handphone nya rusak dan satu-satunya handphone yang bisa dipakai adalah handphone sang istri. tentunya ia tidak bisa berkomunikasi dengan efektif, saya teringat juga ada hp saya yang sudah usang namun masih lumayan lancar untuk sms dan menelpon (kala itu sayang menjual karena harganya sangat rendah), saya menawarkan meminjamkan hp itu sampai dia tidak membutuhkan lagi. Harga HP nya mungkin tidak seberapa, tetapi faktor perhatian dan kerelaan hati akan mempererat hubungan dan tentunya rekan kerja kita diharap lebih efektif lagi dalam bekerja.

Begitu, sedikit dari bentuk-bentuk kepemimpinan non tekni yang mungkin pernah saya praktekkan. Kebetulan sering saya lihat banyak atasan-atasan saya melupakan hal-hal seperti itu. Terlalu sibuk menekan-menekan dan menekan, hasil, hasil dan hasil…tentunya harus diseimbangkan bukan?

MENGENAL HEDONISME

Mengenal Hedonisme Lebih Dekat *

Oleh: Ganna Pryadharizal Anaedi Putra, Lc.**

Dewasa ini, diyakini banyak cara yang dipakai musuh-musuh Islam untuk merongrong Islam dan umat Islam. Diantaranya adalah dengan melancarkan ideologi-ideologi budaya yang disinyalir bisa menjauhkan umat Islam dari identitas keIslamannya. Salah satu ideologi itu bernama hedonisme (paham mengenai kesenangan), yang pada awalnya merupakan sebuah konsep filsafat etika. Kita bisa menyaksikan bahwa saat ini kebanyakan Muslim terutama para remajanya berbondong-bondong digiring untuk menjalani kehidupan yang berpangkal pada pencarian kesenangan semata, salah satunya berwujud dunia entertaintment. Barangkali, banyak dari kita yang belum ngeh mengenai hedonisme sebagai sebuah sistem filsafat etika yang muncul di Barat.

Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.

Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.

Berbicara mengenai hedonisme, maka kita tidak bisa mengesampingkan seorang filosof Yunani yang dinilai punya peranan signifikan dalam membangun epistemologi hedonisme, yaitu Epicurus of Sámos (341-270 SM). Yang kelak prinsip-prinsip ajarannya tersebut dikenal dengan Epicureanisme. Epicureanisme adalah sebuah sistem filsafat yang bersumber dai ajaran-ajaran Epicurus yang dicetuskan sekitar tahun 307 SM. Inti epistemologi Epicureanisme dibangun diatas tiga kriteria kebenaran: Sensasi atau gambaran (aesthêsis), pra-konsepsi atau prasangka (prolêpsis) dan terakhir feelings atau perasaan (pathê). Prolepsis diartikan sebagai “kekuatan dasar” dan juga bisa didefinisikan sebagai “gagasan universal”, yaitu sebuah konsep dan cita-cita yang bisa dimengerti oleh semua orang. Contohnya, seperti kata “laki-laki” yang setiap orang memiliki pendapat yang terbentuk sebelumnya mengenai apa itu laki-laki. Kemudian aesthesis atau sensasi (tanggapan pancaindera) dimaknai sebagai pengetahuan atau ilmu yang didapat melalui perasaan dan verifikasi empiris. Seperti kebanyakan sains modern, filsafat Epicurean menjadikan empirisisme sebagai alat untuk mengidentifikasi kebenaran dari kesalahan. Yang terakhir perasaan (feelings) -yang sebenarnya erat kaitannya dengan etika daripada dengan teori fisiknya Epicurean- yang akan mengkonfirmasikan kepada manusia tentang apa-apa saja yang akan memberi kesenangan dan apa-apa saja yang akan mendatangkan penderitaan. Dengan begini, menjadi penting untuk bisa mendapatkan potret utuh doktrin etika Epicurean.

Bagi Epicurus, kesenangan yang paling tinggi adalah tranquility (kesejahteraan dan bebas dari rasa takut) yang hanya bisa diperoleh dari ilmu pengetahuan (knowledge), persahabatan (friendship) dan hidup sederhana (virtuous and temperate life). Ia juga mengakui adanya perasaan-perasaan akan kesenangan sederhana (enjoyment of simple pleasures), namun Epicurus mengartikan kesenangan sebagai sesuatu yang harus jauh dari hasrat-hasrat jasmaniah (bodily desires), semisal seks dan hawa nafsu. Ia menguraikan, ketika kita makan, jangan sampai terlalu kenyang dan berlebihan, karena bisa menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction) nantinya. Maka konsekuensinya, nantinya dikemudian hari, seseorang tidak layak untuk menghasilkan makanan-makanan yang lezat. Demikian juga, sejatinya seks bisa mendorong untuk meningkatkan birahi atau libido. Namun disisi lain, Epicurus beranggapan, terlalu sering melakukan hubungan seks akan mengurangi hasrat seksual, yang akan mengakibatkan pihak lain merasa tidak puas dengan dengan pasangan ngeseks-nya dan pastinya menyebabkan ketidakbahagiaan (unhappiness). Dengan demikian, parahnya, Epicureanisme terjebak masuk kedalam jurang yang lain, semisal asketisisme (paham yang mempraktikkan kesedrhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban; pertapa, hidup membujang).

Epicureanisme dianggap oleh beberapa kalangan sebagai bentuk hedonisme kuno. Epicurus mengidentifikasikan ‘kesenangan’ dengan ‘kesentosaan’ (tranquility) dan penekanan kepada reduksi hasrat berlebih terhadap perolehan spontan kesenangan (the immediate acquisition of pleasure). Jadi menurut Epicurus, kesenangan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya menyenangkan, justru kesenangan adalah kondisi sejahtera. Karena menurut dia kesenangan itu relatif. Dengan demikian, Epicureanisme melepaskan diri dari proposisi yang sebelumnya: kesenangan dan ‘manfaat yang utama’ (al-khair ar-raisi/the highest good) itu sejajar, Epicurus mengklaim bahwa kesenangan yang paling tinggi tercapai dari sesuatu yang sederhana, semisal kehidupan sederhana yang dijalani bersama teman-teman dan dari diskusi-diskusi filosofis. Dia menekankan bahwa, bukanlah hal baik jika seseorang melakukan sesuatu yang membuat seseorang yang lain (teman) merasa baik, yang apabila dengan pengalaman perbuatan tersebut seseorang justru meremehkan pengalaman-pengalaman yang akan datang dan membuat seseorang yang lain merasa tidak lagi nyaman. Sayangnya, Epicurus tidak menjelaskan sistem sosial etikanya secara panjang lebar. Dengan arti lain, sistem sosial etikanya Epicurus mengalami kebuntuan pada tataran fungsionalisasi (utopia?).

Konsep Dasar

Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Dalam terma singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’ ini (pleasure over pain). Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:

1. Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas). Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’.

2. Aliran yang kedua, vis a vis kelompok pertama, yang diwakili oleh John Stuart Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa, makhluk rendahan (simpler beings) semisal babi, punya jalan termudah untuk memperoleh kesenangan yang sederhana (simpler pleasure); selama mereka (simpler beings, Pen) tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut.

Sedangkan makhluk yang lebih kompleks (elaborate beings), terbentur predisposisi (kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan. Maka dengan demikian, mereka (elaborate beings, Pen) akan menemukan kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.

Namun permasalahan yang muncul adalah: pertama, pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ’sesuatu yang menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan hobi. Sejatinya, pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai dua pendekatan yang komplementer.

Kedua, seseorang akan merasa keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral, tidak akan pernah terjadi kontradiksi. Dua persoalan inilah, yang dicap oleh filosof Henry Sidgwick dalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox of hedonism’.

Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan dengan egoisme. Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). Mengingat, diantara doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme.

Adalah benar bahwa, Epicurus merekomendasikan kepada kita untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat, dia tidak pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan kebahagiaan untuk orang lain. Allah mengajarkan kepada kita bahwa, kesenangan tidak diukur oleh akal dan karakter kesenangan itu sendiri, melainkan ditetapkan oleh-Nya (syari’at). Wallahu ‘Alam.

HEDONISME

Hedonisme,Kehidupan,dan Kebingungan

Posted by: alris1993 on: Desember 26, 2008

Hedonisme,mungkin sedikit aneh ketika terdengar di telinga kita.Tidak banyak orang mengetahui tentang hedonisme.Bagi anda yang belum mengetahui tentang Hedonisme,saya akan menjelaskan sedikit tentang Hedonisme.Hedonisme adalah suatu ajaran yang menganggap bahwa hidup hanya untuk bersenang-senang.Dengan kata lain,kesenangan adalah segalanya bagi seseorang yang menganut ajaran ini.Lalu,mengapa dewasa ini,banyak sekali orang-orang(terutama anak muda) menganut ajaran hedonisme?mari kita simak beberapa pendapat saya dibawah ini.

Untuk alasan pertama saya ingin sekali mengambil contoh tentang musik.Banyak orang berseru-seru,musik untuk hidup atau Music for Life.Saya masih bingung tentang hal ini.Apakah mereka yang berteriak-teriak bahwa musik untuk hidup adalah seorang hedonis atau bukan.Bagi mereka musik adalah kesenangan,musik adalah segalanya bagi mereka,mereka tidak perduli dengan orang lain.Mereka rela menghabiskan banyak dari waktunya untuk bermain musik,berdiam diri di studio ataupun mendengarkan lagu-;agu kesayangan mereka selama berjam-jam.Sekarang,apa hubungan music for life tadi dengan kehidupan kita.Yap,seperti kita tahu bahwa life needs money.Jadi kita definisikan bahwa life adalah sesuatu yang membutuhkan uang.Berarti Music needs money.Jadi para Hedonis juga tetap membutuhkan uang.Jika mereka ingin bersenang-senang karena senang-senang merupakan inti dan tujuan hidup mereka dan mereka tidak mempunyai uang,bagaimana mereka ingin bersenang-senang?

Dan yang kedua,seperti yang kita tahu,para hedonis kebanyakan melenceng kepada perbuatan yang kurang baik seperti wanita.Analogi dari wanita adalah sebagai berikut(mungkin beberapa situs sudah pernah menuliskan hal ini)wanita adalah makhluk yang sempurna dimana untuk mendapatkan pengorbanan dan waktu.Dan seperti yang kita tahu bahwa waktu adalah uang.Dan seperti yang kita tahu juga bahwa pengorbanan sebagian besar terdri dari uang.Jadi pengorbanan dapat dimasukan sebagai kategori uang.Jadi di awal bahwa wanita = pengorbanan dan waktu = uang dan uang.Berarti wanita adalah uang extra.Jadi,para hedonis tetap membutuhkan uang untuk kesenangan sesaat.Namun tetap saja para hedonis itu membutuhkan uang extra untuk melakukan kesenangannya.

Hal yang paling penting yang ingin saya bahas adalah apakah benar pada akhirnya para hedonis ini akan bahagia karena hidupnya benar-benar dipenuhi oleh kebahagiaan?hmm….Mungkin ada satu hal yang bisa menjelaskan tentang ini.Karena kegiatan hedonis membutuhkan banyak uang,otomatis para hedonis ini merupakan orang-orang kaya(kelas atas) dan seperti yang telah saya katakan bahwa kebanyakan hedonis adalah anak muda.Berarti mereka menggunakan uang orang tua mereka untuk bersenang-senang.Dan karena uang tidaklah abadi,dan kita tahu bahwa para hedonis sangat jauh dari Tuhannya maka di alam afterlife mereka mungkin tidak akan bisa menjadi hedonis lagi.Dan inilah satu-satunya yang bisa menghapuskan hedonisme.Dan mungkin para hedonis itu akan berteriak Long Life Hedonism sampai nafas terakhir mereka di dunia ini.

ONTOLOGI

Epistomologi

Epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi

Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral

Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).

EPISTOMOLOGI

Epistomologi

Epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi

Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral

Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).

EPISTOMOLOGI

Epistomologi

Filed under: 1 — rismarnawati @ 2:04 am

Epistemologi merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan pandangan hidup seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik itu sifat dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Ada tiga duta utama yang berperan membentuk pandangan hidup seseorang yakni keluarga, sekolah dan gereja. Tidak hanya itu majunya alat komunikasi (TV, radio, internet, majalah dan lain-lain) juga berperan menjadi sumber anak untuk belajar. Melihat begitu banyak hal yang mengambil peran dalam pertumbuhan pengetahuan (kebenaran) sehingga setiap kita menjadi orang yang bertanggungjawab akan pengetahuan tersebut.

Guru sebagai sosok yang mengajar memiliki waktu yang sangat banyak untuk berinteraksi dengan siswa, untuk itu seorang guru dengan dimensinya untuk menuntun, menjabarkan, menyusun struktur dan memampukan harus mengerti benar tentang kebenaran pengetahuan yang akan disampaikan di depan kelas. Hal ini akan memiliki pengaruh yang besar bagi setiap anak sebab anak melihat guru di depan kelas merupakan seorang model yang harus ditiru. Model yang dimaksud disini adalah teladan yang baik (Van Brummelen,1988:26) bukan model yang berjalan di atas catwalk.

Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, apakah pengetahuan itu benar-benar benar atau tidak, untuk itu perlu dimengerti apa itu yang benar dan bagaimana manusia mengetahui kebenaran. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang memang sudah ada sebelum manusia ada. Manusia juga diciptakan dalam sebuah kebenaran namun kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia hidup di dalam dunia yang penuh dengan ketidakbenaran. Oleh karena itu, untuk mengetahui kebenaran itu maka penulis beranggapan manusia harus kembali kepada Siapa yang menciptakan manusia. Untuk melihat kebenaran yang seperti ini diperlukan sebuah iman yang akan membawa kita ke dalam pengertian, sebab dosa alami manusia membuat manusia terbatas dalam memahami sesuatu yang terjadi.

Dalam praktek pendidikan sering sekali muncul teori-teori tentang pemahaman sebuah kejadian, misalnya teori tentang atom. Perkembangan teori atom pada tahun 1911 oleh E.Rutherford menyatakan ketika elektron yang bermuatan negatif mengelilingi inti yang bermuatan positif, maka akan terjadi gaya tarik menarik elektrostatik, sehingga lama kelamaan elektron akan jatuh ke inti. Namun tahun 1913 Bohr meneliti, kebenaran tersebut hanya berlaku untuk atom hidrogen yang sederhana, untuk itu ia berpendapat bahwa kedudukan elektron tidak dapat ditentukan secara pasti, karena itu hanya merupakan kemungkinan. Tahun 1923 L.V de Broglie mengemukakan bahwa gerak partikel (elektron) merupakan gerakan sebuah gelombang dan pada tahun 1926 Erwin Schrodinger berhasil menyusun persamaan gelombang untuk elektron menggunakan cara-cara mekanika gelombang.

Perkembangan teori di atas mengajarkan bahwa pengetahuan itu bersifat dinamis, dan diyakini kebenarannya sampai muncul kebenaran yang baru dengan alasan-alasan yang dapat membuktikan kebenaran tersebut. Sebagai seorang guru kita dapat mengajarkan kepada anak didik kita bahwa pengetahuan itu bersifat dinamis dan relatife, untuk itu kita harus berpegang teguh terhadap kebenaran yang mutlak dan absolute yakni kebenaran di dalam Firman Tuhan.

Teori-teori yang ada adalah teori yang ditemukan oleh manusia dan teori tersebut disusun tidak terlepas dari worldview si penyusun teori, apakah ia Theosentris atau anthroposentris, untuk itu guru harus bisa menyaring semua pengetahuan, yang mana pengetahuan yang sesuai dengan iman Kristen dan yang mana yang tidak. Salah satu contoh teori yang harus di filter adalah teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia tercipta akibat seleksi alam, sedangkan kebenaran Firman Tuhan sangat jelas menuliskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Bagaimana seorang guru mengetahui tentang sebuah kebenaran akan memberikan implikasi yang signifikan dalam penyusunan kurikulum dan penyampaian pengajaran. Untuk itu seorang guru sebelum mengajar di kelas harus memiliki pengetahuan yang benar akan muatan pengajaran yang akan diajarkan. Ada beberapa sumber dari pengetahuan akan kebenaran yang dapat menolong penulis sebagai guru mengajarkan pengetahuan di dalam kelas.

1. Indera, pengetahuan yang didapat dari pengalaman-pengalaman empiris

2. Pewahyuan, pengetahuan yang tidak dapat dimengerti dengan metode epistemologi yang lain, hanya dapat dimengerti dengan iman.

3. Otoritas, pengetahuan yang di dapat dari para ahli baik itu buku cetak, guru dan bahan acuan lain serta diteruskan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

4. Alasan, pengetahuan secara holistik yang besumber dari penalaran yang logis.

5. Intuisi, pengetahuan yang didapat berdasarkan “cahaya pengertian”, bukan merupakan hasil dari sebuah penalaran atau persepsi indera secara langsung.

PEMIKIRAN - PEMIKIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI
Oleh Herry Erlangga, S.Sos, M.Pd.
Ketua dan Dosen Stikom WJB Serang Banten
(http://stikomwangsajaya.ac.id/)

1. Pemikiran Richard LaniganKaryanya yang berjudul “Communication Models in Philosophy, Review and Commentary” membahas secara khusus “analisis filsafati mengenai komunikasi”.
Mengatakan; bahwa filsafat sebagai disiplin biasanya dikategorikan menjadi sub-bidang utama menurut jenis justifikasinya yang dapat diakomodasikan oleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini :

- Apa yang aku ketahui ? (What do I know ?)
- Bagaimana aku mengetahuinya ? (How do I know it ?)
- Apakah aku yakin ? (Am I sure ?)
- Apakah aku benar ? (Am I right ?)

Pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan dengan penyelidikan sistematis studi terhadap :
• Metafisika;
• Epistemologi;
• Aksiologi; dan
• Logika

Metafisika; adalah suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :
1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :

 Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
 Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).

Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi.Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis.

Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi :
o Kerangka pemikiran yang logis;
o Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran;
o Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional.
Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut :
1) Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.
3) Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.Aksiologi; asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama.
Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya atau mengekspresikannya.
Jelaslah, pentingnya seorang komunikator untuk terlebih dahulu mempertimbangkan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak.
Logika; berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar. Logika sangat penting dalam komunikasi, karena pemikiran harus dikomunikasikan, sebagai hasil dari proses berpikir logis.2. Pemikiran Stephen LittleJOHN

Penelaahan terhadap teori dan proses komunikasi dengan membagi menjadi tiga tahap dan empat tema :

A. Tahap Metatheoritical;
Meta mempunyai beberapa pengertian :
 Berubah dalam posisi (changed in position);
 Di seberang, di luar atau melebihi (beyond);
 Di luar pengertian dan pengalaman manusia (trancending);
 Lebih tinggi (higher);

Teori menurut Wibur Schramm adalah “suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan pada abstraksi dengan kadar yang tinggi, dan daripadanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai tingkah laku”.

B. Tahap Hipotetikal;
Adalah tahap teori di mana tampak gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan.

C. Tahap Deskriptif;
Tahap ini meliputi pernyataan-pernyataan aktual mengenai kegiatan dan penemuan-penemuan yang berkaitan dengannya.

Empat Tema dimaksud adalah :
A. Tema Epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan); adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia.
LittleJOHN mengajukan pertanyaan : Dengan proses bagaimana timbulnya pengetahuan ? terdapat empat posisi :

1. Mentalisme atau rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia. Posisi ini menempatkan pada penalaran manusia.
2. Empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Melihat dunia apa yang sedang terjadi.
3. Konstruksivisme yang menyatakan bahwa orang menciptakan pengetahuan agar berfungsi secara pragmatis dalam kehidupannya. Percaya bahwa fenomena di dunia dapat dikonsepsikan dengan berbagai cara, dimana pengetahuan berperan penting untuk merekayasa dunia.
4. Konstruksivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik dalam kelompok sosial. Realitas dikonstruksikan secara sosial sebagai produk kehidupan kelompok dan kehidupan budaya.

B. Tema Ontology (pertanyaan mengenai eksistensi);

Ontology adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau sifat fenomena yang ingin kita ketahui, dalam sosiologi berkaitan dengan sifat interaksi sosial.
Dalam teori komunikasi tampak berbagai posisi ontologis, tetapi dapat dikelompokan menjadi dua posisi yang saling berlawanan :

1. Teori Aksional (actional theory);
Bahwa orang menciptakan makna, mereka mempunyai tujuan, mereka menentukan pilihan nyata. Berpijak pada landasan teleologis yang menyatakan bahwa orang mengambil keputusan yang dirancang untuk mencapai tujuan.

2. Teori Non-aksional (nonactional theory);
Bahwa perilaku pada dasarnya ditentukan oleh dan responsive terhadap tekanan-tekanan yang lalu. Tradisi ini dalil-dalil tertutup biasanya dipandang tepat, interpretasi aktif seseorang dilihat dengan sebelah mata.

C. Tema Perspective (pertanyaan mengenai focus);
Suatu teori terdapat pada fokusnya. Perspektif berkorelasi dengan epistemology dan ontology disebabkan bagaimana teoritisi memandang pengetahuan dan bagaimana pengaruhnya terhadap perspektif teori. Teori komunikasi menyajikan perspektif khusus darimana prosesnya dapat dipandang.
Suatu perspektif adalah sebuah titik pandang, suatu cara mengkonseptualisasikan sebuah bidang studi. Perspektif ini memandu seorang teoritikus dalam memilih apa yang akan dijadikan fokus dan apa yang akan ditinggalkan, bagaimana menerangkan prosesnya, dan bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang diamati.

Empat jenis yang dinilainya memadai dalam pembahasan perspektif, yaitu :

1. Perspektif Behavioristik (behavioristic perspective);
Timbul dari psikologi mazhab perilaku atau behavioral, menekankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response) yang cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan.

2. Perspektif Transmisional (transmissional perspective);
Memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima, menggunakan gerakan model linier dari suatu lokasi ke lokasi lain. Menekankan pada media komunikasi, waktu dan unsur-unsur konsekuensial.
3. Perspektif Interaksional (interactional perspective);
Mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep.

4. Perspektif Transaksional (Transactional perspective);
Menekankan kegiatan saling beri. Memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan sosial

D. Tema Axiology (pertanyaan mengenai nilai).
Cabang Filsafat yang mengkaji nilai-nilai. Bagi pakar komunikasi, ada tiga persoalan aksiologis :

1. Apakah Teori Bebas Nilai ?
Ilmu klasik menganggap teori dan penelitian bebas nilai. Ilmu pengetahuan bersifat netral, berupaya memperoleh fakta sebagaimana tampak dalam dunia nyata.
Jika ada pendirian ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, karena karya peneliti dipandu oleh suatu kepentingan dalam cara-cara tertentu dalam melaksanakan penyelidikan.
Beberapa cendikiawan berpendapat bahwa teori tidak pernah bebas nilai dalam metode dan substansinya. Para ilmuwan memilih apa yang akan dipelajari, dan pemilihan itu dipengaruhi oleh nilai-nilai baik personal maupun institusional.

2. Sejauh mana pengaruh praktek penyelidikan terhadap obyek yang dipelajari ?
Titik pandang ilmiah menunjukan bahwa para ilmuwan melakukan pengamatan secara hati-hati, tetapi tanpa interferensi dengan tetap memelihara kemurnian pengamatan. Beberapa kritisi tetap berpendapat bahwa teori dan pengetahuan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.

3. Sejauh mana ilmu berupaya mencapai perubahan sosial ?
Apakah para ilmuwan akan tetap objektif atau akan berupaya membantu perubahan sosial dengan cara-cara yang positif ? Peranan ilmuwan adalah menghasilkan ilmu, sarjana bertanggungjawab berkewajiban mengembangkan perubahan yang positif.
Jadi secara keseluruhan, persoalan aksiologis ini terdapat dua posisi umum, yaitu :

1. Ilmu yang sadar nilai (value-conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori secara bersama berupaya untuk mengarahkan nilai-nilai kepada tujuan positif.
2. Ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, dan bahwa para cendikiawan mengontrol efek nilai-nilai.

3. Pemikiran Whitney R. Mundt

Berbeda dengan pemikiran yang lain, dalam karyanya ”Global Media Philosophies” menjelaskan keterpautan pemerintah dengan jurnalistik di mana keseimbangan kekuatan selalu bergeser. Pertanyaannya, dimana garis pemisah antara kebebasan dan pengawasan ?

Menurut MUNDT ;
- Dalam teori authoritarian pers adalah pelayan negara.
Peranannya tidak usah dipertanyakan, karena merupakan filsafat kekuasaan mutlak dari pemerintah suatu kerajaan.
Perintisnya adalah Hobbes, Hegel dan Machiavelli.
Negara-negara contohnya adalah Iran, Paraguay dan Nigeria.

- Teori libertarian, media tidak bisa tunduk kepada pemerintah, tetapi harus bebas otonom, bebas untuk menyatakan ideanya tanpa rasa takut diintervensi pemerintah.
Perintisnya adalah Locke, Milton dan Adam Smith.
Negara-negara contohnya adalah AS, Jepang dan Jerman Barat.

- Teori Social Responsibility, merupakan modifikasi atau perkembangan dari teori libertarian, tetapi berbeda dengan akarnya; fungsi pers adalah sebagai media untuk mendiskusikan konflik. Perbedaan lainnya ialah pers tanggungjawab sosial diawasi oleh opini komunitas, kegiatan konsumen dan etika profesional.
Beberapa negara cenderung menganut teori ini, termasuk AS.

- Teori Soviet Communist dikatakan bahwa pers Uni Soviet melayani partai yang sedang berkuasa dan dimiliki oleh negara.
Orang-orang soviet mengatakan bahwa persnya bebas untuk menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal dikontrol oleh kepentingan bisnis.
Dalam kaitannya dengan Filsafat PERS, Lowenstein tetap berpegang pada istilah authoritarian dan libertarian.
Jelasnya dibawah ini adalah tipologi Lowenstein.

Kepemilikian PERS :
1. Kepemilikan Pribadi – Dimiliki oleh perorangan atau lembaga non-pemerintah; dibiayai terutama oleh periklanan ddan langganan.
2. Kepemilikan Partai Politik – Dimiliki oleh partai politik, disubsidi oleh partai atau anggota partai.
3. Kepemilikan Pemerintah – Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah yang dominan, disubsidi terutama oleh dana pemerintah.
Filsafat PERS :
1. Otoritarian – Dengan lisensi dan sensor pemerintah untuk menekan kritik dan dengan demikian memelihara kekuasaan kaum elite.
2. Sosial-otoritarian – Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah untuk melengkapi pers guna mencapai tujuan ekonomi nasional dan tujuan filsafati.
3. Libertarian – Ketiadaan pengawasan pemerintah (kecuali undang-undang tentang fitnah dan cabul), untuk menjamin pemasaran gagasan secara bebas (free market place of ideas) dan pengoperasian proses tegakkan diri (selfrighting process).
4. Sosial Libertarian – Pengawasan pemerintah secara minimal untuk menyumbat saluran-saluran komunikasi dan untuk menjamin semangat operasional dari filsafat libertarian.
5. Sosial Sentralis – Kepemilikan pemerintah atau lembaga umum dengan saluran komunikasi terbatas untuk menjamin semangat operasional dan filsafat libertarian.
6. Nilai Logika, Etika dan Estetika dalam Komunikasi

Bagan Hubungan Logika, Etika dan Estetika :

Dasar Tujuan Nilai Hasil
LOGIKA Pikiran Kebenaran Benar/Salah IPTEK
FILSAFAT ETIKA Kehendak Kecocokan Baik/Buruk Keserasian
ESTETIKA Perasaan Keindahan Indah/Jelek Kesenian

Penjelasan mengenai nilai inti yang tercakup oleh filsafat komunikasi adalah, sebagai berikut :

1) Logika;
Logika berkaitan dengan penelaahan terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar (deals with the study of the principles and methods of correct reasoning). Bahwa logika teramat penting dalam proses komunikasi, jelas karena suatu pemikiran harus dikomunikasikan kepada orang lain, dan yang dikomunikasikan itu harus merupakan putusan sebagai hasil dari proses berpikir logis (yang berarti mengadakan seleksi diantara fakta dan opini, untuk kemudian menyusunnya menjadi suatu kesatuan yang utuh, tidak bertentangan dengan satu sama lain).
M. Sommer dalam bukunya “Logika” mengatakan bahwa kalau seseorang hendak bicara atau menulis dengan tepat, ia harus memperhatikan hukum-hukum gramatika. Dan jika hendak berpikir tepat, harus memperhatikan hukum-hukum logika.
Logika oleh Summer didefinisikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi untuk melakukan pembimbingan menuju kebenaran”.

Hambatan komunikasi pada umumnya mempunyai 2 sifat :

1. Hambatan Obyektif; Gangguan dan halangan terhadap jalannya komunikasi yang tidak disengaja, dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Misal: Gangguan cuaca, gangguan lalu-lintas.
Hambatan Objektif juga bisa disebabkan :
Kemampuan komunikasi yang kurang baik;
Approach/Pendekatan penyajian kurang baik;
Timing tidak cocok;
Penggunaan media yang keliru.
2. Hambatan Subyektif; yang sengaja dibuat oleh orang lain.
Disebabkan karena adanya :
Pertentangan kepentingan;
Prejudice;
Tamak;
Iri hati;
Apatisme, dsb.

EVASION OF COMMUNICATION :

“Gejala mencemooh dan mengelakan suatu komunikasi untuk mendeskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi”.
Mencacatkan Pesan Komunikasi (Message made invalid); Kebiasaan mencacatkan pesan komunikasi dengan menambah-nambah pesan yang negatif.
Mengubah Kerangka Referensi (Changing frame of reference),Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri.

Mengapa Komunikasi Kita Pelajari dan Teliti ?

Jawabannya :

Karena Kita Ingin Mengetahui Bagaimana Efek Suatu Jenis Komunikasi kepada Seseorang.

WILBUR Schramm, menampilkan apa yang disebut “the condition of success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki, dengan memperhatikan :

a) Pesan harus dirancang dan disampaikan sehingga menarik.
b) Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman antara komunikator dan komunikan, sehingga dimengerti.
c) Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan.
d) Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan komunikan.

1. FAKTOR KOMPONEN KOMUNIKAN

a. Para Ahli Komunikasi meneliti sedalam-dalamnya tujuan Komunikan
b. Mengapa “Know Your Audience” merupakan ketentuan utama dalam komunikasi

Sebabnya ialah karena penting mengetahui :
 Timing yang tepat untuk suatu pesan;
 Bahasa yang harus dipergunakan agar pesan dapat dimengerti;
 Sikap dan nilai yang harus ditampilkan agar efektif;
 Jenis kelompok dimana komunikasi akan dilaksanakan.

Komunikan dapat dan akan menerima sebuah pesan hanya kalau terdapat empat kondisi berikut ini :

 Dapat dan Benar-benar Mengerti Pesan Komunikasi;
 Pada Saat Mengambil Keputusan, Sadar Sesuai dengan Tujuannya;
 Pada Saat Mengambil Keputusan, Sadar Keputusannya Bersangkutan dengan Kepentingan Pribadinya;
 Mampu menepatinya baik secara mental maupun fisik.

2. FAKTOR KOMPONEN KOMUNIKATOR

Dua Faktor Penting pada diri Komunikator:

• Kepercayaan pada Komunikator (Source Credibility);

Hasrat seseorang untuk memperoleh suatu pernyataan yang benar. Kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai dimana ia memperoleh kepercayaan dari komunikan. Kepercayaan ditentukan oleh Keahliannya dan dapat dipercaya. Karena kepercayaan yang besar dapat merubah sikap.

Daya Tarik Komunikator (Source Attractiveness);

Hasrat seseorang untuk menyamakan dirinya dengan komunikator. Komunikator akan sukses dalam komunikasinya, bila berhasil memikat perhatian komunikan. Sehingga akan mempunyai kemampuan melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik. Komunikan menyenangi komunikator, apabila merasa adanya kesamaan khususnya kesamaan ideologi yang lebih penting daripada kesamaan demografi.
Seorang komunikator akan sukses dalam komunikasinya. Kalau menyesuaikan komunikasinya dengan “the image” dari komunikan, yaitu :

Memahami kepentingannya;

 Kebutuhannya;
 Kecakapannya;
 Pengalamannya;
 Kemampuan berpikirnya;
 Kesulitannya; dsb

Singkatnya, Komunikator harus dapat menjaga kesemestaan alam mental yang terdapat pada komunikan.

Prof. Hartley, menyebutnya “the image of other”.

3. HAMBATAN KOMUNIKASI

Ahli Komunikasi menyatakan; tidaklah mungkin seseorang melakukan komunikasi yang sebenarnya efektif, karena ada banyak hambatan yang harus menjadi perhatian, antara lain :

a. Gangguan

o Mekanik (Mechanical channel noise); Gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik.
o Semantik (Semantic noise); Gangguan yang bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Karena melalui penggunaan bahasa.

Semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata. Lambang kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda untuk orang-orang yang berlainan, terjadi salah pengertian Denotatif (arti yang sebenarnya dari kamus yang diterima secara umum) dan Konotatif (arti yang bersifat emosional latar belakang dan pengalaman seseorang).

b. Kepentingan

Interest atau kepentingan akan membuat seorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Orang akan memperhatikan perangsang yang ada hubungannya dengan kepentingannya.

c. Motivasi Terpendam

Motivasi akan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya. Intensitasnya akan berbeda atas tanggapan seseorang terhadap suatu komunikasi.

d. Prasangka
Prejudice atau prasangka merupakan rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi.

Proses Komunikasi

Bagaimana tekniknya agar komunikasi yang dilancarkan seseorang komunikator berlangsung efektif, dalam prosesnya dapat ditinjau dari dua perspektif :

•Proses Komunikasi dalam Perspektif Psikologis;

Dalam perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan, terjadinya suatu proses komunikasi (isi pesan berupa pikiran dan lambang umumnya bahasa).

Walter Lippman menyebut isi pesan “picture in our head”, sedangkan Walter Hagemann menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses ‘mengemas’ atau ‘membungkus’ pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator, yang dinamakan ‘encoding’. Sedangkan proses dalam diri komunikan disebut ‘decoding’ (seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan).
•Proses Komunikasi dalam Perspektif Mekanistis;

Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan, atau dengan tangan kalau tulisan.
Penangkapan pesan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau indera mata, atau indera-indera lainnya. Adakalanya komunikasi tersebar dalam jumlah relatif banyak, sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, dalam situasi ini dinamakan komunikasi massa.

Komunikasi..Pengertian dan Hakikatnya

Dewasa ini Ilmu Komunikasi dianggap sangat penting, Mengapa…???

•Sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kemaslahatan umat manusia akibat perkembangan teknologi…. Karena Apa…?

Dengan Alasan, bahwa :

•Ilmu Komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi.

•Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi (akibat perbedaan-perbedaan diantara manusia yang banyak dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya, tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dsb.
Hakikat Komunikasi, adalah :
•Proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Tegasnya;

•Komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek:

 Pertama, Isi Pesan (the content of the massage);
 Kedua, Lambang (symbol);
 Konkritnya Isi Pesan itu adalah Pikiran atau Perasaan, Lambang adalah Bahasa.

Semakin peliknya antar manusia dan semakin pentingnya studi terhadap komunikasi, disebabkan Teknologi (khususnya teknologi komunikasi yang semakin canggih).

Mengapa harus serius untuk dipelajari, Karena;

• Jika seseorang ‘Salah Komunikasinya’ (miscommunication), maka orang yang dijadikan sasaran mengalami;
• Salah Persepsi’ (misperception), yang gilirannya;
• Salah Interpretasi’ (misinterpretation), berikutnya;
• Salah Pengertian’ (misunderstanding). Dalam hal tertentu menimbulkan;
• Salah Perilaku (misbehavior), dapat dibayangkan apabila komunikasinya berlangsung skala nasional atau internasional, bisa fatal.

Apa sebenarnya Komunikasi itu ?

o Secara etimologis dari perkataan latin “communicatio”, istilah ini bersumber dari perkataan “communis” artinya ‘sama’, maksudnya ‘sama makna atau sama arti’. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.
o Jika terjadi kesamaan makna antar kedua aktor komunikasi, maka komunikasi tidak terjadi, rumusan lain ‘situasi tidak komunikatif’.

Hakikat Filsafat Komunikasi

Filsafat Komunikasi Adalah “Suatu Disiplin Yang Menelaah Pemahaman Secara Fundamental, Metodologis, Sistematis, Analitis Kritis, Dan Holistis Teori Dari Proses Komunikasi Yang Meliputi Segala Dimensi”, Menurut :

- Bidangnya;
- Sifatnya;
- Tatanannya;
- Tujuannya;
- Fungsinya;
- Tekniknya; dan
- Metodenya

Tujuan Komunikasi :

a. Mengubah Sikap (to change the attitude)
b. Mengubah Opinin (to change the opinion)
c. Mengubah Perilaku (to change the behavior)
d. Mengubah Masyarakat (to change the society)
Fungsi Komunikasi :

a. Menginformasikan (to inform)
b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain)
d. Mempengaruhi (to influence)

Teknik Komunikasi :

a. Komunikasi Informatif
b. Komunikasi Persuasif
c. Komunikasi Pervasif
d.Komunikasi Koersif
e.Komunikasi Instruktif

Etika, Nilai dan Norma

Dua Macam Etika yang Berkaitan Dengan Nilai dan Norma :

Pertama, Etika Deskriptif;

Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.

Kedua, Etika Normatif;

Berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini.
Etika Normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek.

Bedanya dari kedua macam etika :

Etika Deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.
Sedangkan Etika Normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Jadi dapat dikatakan bahwa etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini.
Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang mau kita lakukan dalam situasi tertentu dalam hidup kita sehari-hari.
Etika membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang terjelma dalam sikap dan perilaku kita yang sangat mewarnai dan menentukan makna kehidupan kita.

Sumber : http://etika-filsafat-komunikasi.blogspot.com/