Rabu, 22 Juli 2009

filsafat mengenal tuhan

Z: Hal yang paling jelas dan benar-benar jelas adalah ada. artinya
dengan tidak dijelaskanpun ada itu ada di akal kita. Tapi karena
tingkat kesadaran kita lemah. Untuk membedakan antara ada dan tiada
pun kita kerepotan minta ampun.

N: jika Ada adalah yang paling jelas, bahkan tanpa dijelaskan pun ia
ada di akal kita, maka bagaimana kesadaran bahkan yang paling lemah
pun tak menangkapnya? Jika kesadaran yang paling lemah tak dapat
menangkap Ada yang paling jelas itu, yang bahkan tanpa dijelaskan
pun ada di akal kita, artinya ada
kompleksitas tertentu dalam Ada tersebut, terdapat kekaburan
tertentu dalam Ada tersebut, sehingga Ada itu tak bisa disebut yang
paling jelas dan benar-benar jelas, yang ada tandap dijelaskan
sekalipun.


Z: Makanya kita membutuhkan suatu
penyadaran yang berpegang kepada nilai-nilai universal untuk
membedakan ada dan tiada. Tanpa berpihak kepada suatu ajaran apapun.
Adapun jika ada implikasi kesesuaian suatu ajaran dengan nilai-nilai
universal si ada maka itu merupakan kebenaran kedua yang harus
diterima setelah menerima kebenaran yang kesatu. Kebenaran yang
kesatu
adalah mengetahui dan memahami Ada dan Tiada (yang dengan
kedua-duanya kita menentukan kebenara) berdasarkan nilai-nilai
universal. Artinya argument universal, tidak relatif, tidak nisbi dan
dapat diterima oleh semua orang yang berakal.
Adapun jika suatu ajaran tertentu itu datang (menurut anda dogma)
setelah kita mengetahui kebenaran secara nilai-nilai universal dan
ternyata kedua-duanya sama. Maka tentulah ajaran tersebut merupakan
nilai-nilai universal juga. Bukan kepunyaan berdasarkan tempat,
negara, waktu, seseorang, individu, ras, dan hal-hal lain yang
bertentangan nilai-nilai universal.

Apakah yang disebut nilai-nilai universal? Jika terdapat nilai-nilai
universal, dalam pengertian alamiah, absolut, maka tidak ada
pertentangan nilai, semua nilai pasti homogen.


KIBROTO: Bertambah ribet lagi ketika disebutken bahwa kebenaran
hanya satu.
Nyatanya, praktis tiap orang punya `fantasi' sendiri2 tentang Tuhan
yang tidak pasti sama.

Z: 'apakah hubungannya kebenaran hanya satu dengan 'fantasi'?.
Jika fantasi dalam kata lain persefsi/gambaran akal/pikiran terhadap
sebuah informasi. Ya jelas jika anda sandarannya adalah
persefsi/gambaran akal tidak akan mendapatkan realitas
mutlak/kebenaran mutlak. Tapi jika anda menyesuaikan 'Apa yang ada
di dalam Akal anda' dengan kebenaran yang ada di luar baru anda
dapatkan kebenaran.
contoh: Jika anda membayangkan bahwa Tuhan duduk di kursi maka hal
itu tidak
benar karena tidak mungkin tuhan bertempat.
Jika anda membayangkan bahwa 1 + 2 = 4 maka itu tidak benar karena
yang benar adalah 1 + 2 = 3. Jadi untuk memperoleh kebenaran
sesuaikan pikiran anda dengan kebenaran yang ada diluar anda atau
sebaliknya.

N: Apa yang kau maksud dengan di luar di sini Zar Alkamal? Jika yang
kau maksud "di luar" di sini adalah yang indrawi, itu bertentangan
dengan tesismu sendiri, bahwa yang "indrawi" itu merupakan
ketiadaan, sehingga tak dapat menjadi verifikasi kebenaran atau Ada.
Dua contoh yang kau berikan "Tuhan duduk di kursi" dan 1+2=3 bukan
empat juga tidak menunjukan penjelasan apapun akan hal ini. Contoh
ketidakmungkinan "Tuhan duduk di kursi" karena Tuhan tidak mungkin
bertempat tidak dapat disesuaikan dengan kebenaran yang ada di luar
(dalam pengertian indrawi). Ketidakmungkinan Tuhan duduk di kursi
karena Tuhan tidak bertempat atau berada di luar ruang dan waktu
merupakan derivasi dari postulasi bahwa Tuhan sebagai sang pencipta
pastilah terlepas dari ruang dan waktu, karena ruang dan waktu
adalah ciptaannya. Dan postulat ini murni bermain di wilayah
penalaran atau akal atau fantasi dalam bahasa Ki Broto, yang dalam
logika Aristotelian disebut IMAGINATIVA. Demikian pula 1+2=3,
operasi penghitungannya juga merupakan wilayah IMAGINATIVA, bahwa
angka 1, 2, 3 mewakili kuantitas 1, 2, 3 di luar (fisik atau
indrawi) juga adalah wilayah IMAGINATIVA. Untuk lebih jelasnya mari
kita lihat fenomena menjarang air Hume.
Ketika kita menjerang air di atas api, dan kemudian mendidih kita
mengatakan air mendidih karena api. Secara indra fenomena yang
ditangkap adalah air dalam sebuah wadah yang diletakan di atas api.
Kesimpulan bahwa air mendidih karena api merupakan sebuah proses
rasionalisasi, yang berada di wilayah imajinasi. Seluruh silogisme
merupakan IMAGINATIVA.

Z:Tuhan adalah pencipta. dan makhluk adalah yg dicipta.Jadi sudah
suatu keharusan sesuatu yg dicipta memasuki aturan yg pencipta. Jika
tidak tentu dia akan keluar dari jalurnya. Alias bukan pencipta
ataupun yg dicipta

N: Jika keluar memang kenapa? Apa yang mengharuskan ciptaan memasuki
aturan pencipta? Mengapa ia tidak "sudah seharusnya membunuh
penciptanya"? Meludahi mukanya? Jika ia keluar jalur apakah itu
merubah eksistensinya sebagai yang dicipta?

Z: Jika terindra itu benar perhatikan contoh-contoh di
bawah ini: Kursi, apakah benar kursi itu ada sebagai realitas
mutlak? Tidak, kursi adalah kayu, plastik,atau bahan lainnya yang
berbentuk sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai alat
duduk. Kita memahami itu kursi, tapi secara terindra bukan kursi
karna pada kursi ada kayu dan ada paku. Ingat rumah itu tidak ada
tapi yang ada itu jendela, atap, lantai, dinding dan isi rumah.
Ingat, tembok itu tidak ada tapi yang ada adalah tanah, bata dan
semen. Ingat anah itu tidak ada yang ada adalah unsur-unsur tanah.
Unsur-unsur tanah itu tidak ada yang ada adalah kumpula atom. Atom
itu tidak ada yang ada adalah elektron, proton, dan netron.
Elektron, proton, dan netron itu tidak ada yang ada adalah . . . .

N: Zar kamal, kursi, rumah, tembok, jendela, itu konsep, itu wilayah
rasio, akal, atau IMAGINATIVA, belajarlah lebih banyak tentang kausa
Aristoteles. Dan bandingkan penjelasanmu ini dengan penjelasanku
tentang fenomena "menjarang air HUME".


Z: yang merasa dirinya benar siapa? lalu siapa yang benar/salah? Jika
saya salah maka tolong dimana letak yang salah! Jangan ancam
mengancam
dengan mengutip perkataan Nabi Musa. Jika Anda yang benar maka dengan
senang hati saya menerima kebenaran itu. Tapi jika anda yang salah
sudah menjadi kewajiban saya membenarkan yang salah. Tentunya harus
dipertanggungjawabkan.

N: Oh jadi kau ingin mengatakan bahwa apa yang kau katakan salah.
Kau tidak malu ngomong seperti itu: "Yang merasa dirinya benar
siap?"; Apakah aku mengancam Zar Alkamal? Atau itu ketakutanmu? Kau
takut pada maut? Bagaimana kau bisa bicara kebenraran jika kau takut
pada maut? Itulah sebabnya terdapat ayat: Takut akan kematian adalah
tanda-tanda kekafiran. Pakailah sedikit otakmu, apakah artinya
perkataan Musa tersebut? Bahwa jika kau sampai pada kebenaran
tertentu kau harus meninggalkannya dan mencari kebenaran yang lebih
jauh, itulah mengapa Musa harus belajar kepada Khidir, bangun pikir
positif (sistem benar x salah, ada x tiada) yang disimbolkan dengan
tongkat Musa harus dipatahkan dan dilempar ke tanah, Musa harus
belajar untuk menarik hubungan-hubungan, garis-garis, bahkan dari
hal-hal yang tidak berhubungan (inilah yang disebut ilmu laduni,
atau jeniusitas dalam definisi Aristoteles, bisa pula disebut indra
keenam, karena sesungguhnya operasi dalam indera keenam adalam
kecerdasan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut), untuk
membaca tanda-tanda, qiyas-qiyas dan mengambil hikmah, tanpa henti.


Z: "Kebenaran tak pernah menjadi air, ia adalah batu, sebab itu
setiap
kebenaran harus dipenggal seperti Ibrahim memenggal kepala Latah,
uzah, Watan dan Sanam." Tentu kalimat diatas adalah bukan kalimat
yang berdasarkan
sistematika logika yang benar. Karena Kebenaran tak pernah menjadi
air, ia adalah batu,
jadi kebenaran adalah batu (mustahil).

N: Tergantung apa yang kau sebut sistematika logika yang benar.
Kalau yang kau maksud adalah seperti yang kau tuliskan: "Kebenaran
tak pernah menjadi air, ia adalah batu, jadi kebenaran adalah batu".
Jawabannya adalah Ya. Tetapi jika yang kau maksudkan dengan
sistematika logika yang benar adalah: "Tuhan adalah air
kebenaran adalah batu, maka kebenaran bukanlah Tuhan." Jawabannya
tidak. Dalam logika Aristotelian atau dalam silogisme, preposisi
mayor hipotesis, preposisi minor kategoris, konklusinya kategoris.

Bahkan menyusun proposisi saja kau tidak bisa. Begitu ingin
berbicara tentang logika denganku? GOBLOK JANGAN KEBANGETAN, AKU SIH
TIDAK PINTER TAPI TIDAK SEIDIOT DIRIMU.

Sekarang, untuk memahami silogisme, maka kau memerlukan referensi,
sebab proposisi-proposisi itu tidak mencukupi, tidak definitif,
kenapa, karena sebelumnya aku telah mengirimkan referensi mengenai
Tuhan yang berarsyi di atas air, yang merupakan simbolisasi dari
YANG TIADA karena keberadaannya mengatasi ruang dan waktu, dan Ada
selama ini selalu dipahami sebagai Yang Meruang dan Mewaktu, Ada
sebagai Kehadiran. Karena ia merupakan YANG TIADA, maka ia bersifat
amoral, tak dapat dikenai baik dan buruk, benar dan salah. Memasukan
Tuhan sebagai YANG ADA, sehingga ia memiliki baik dan buruk, benar
dan salah, adalah sebuah pemberhalaan. Pengen bukti dari
pemberhalaan ini: Tuhan itu ada berapa Zar Alkamal? Ada satu!
Penghitungan atau kuantifikasi Tuhan adalah contoh nalar dari Ada
sebagai Kehadiran, konsekwensi logis dari Tuhan sebagai YANG ADA,
sebuah antropomorfisme, yaitu pemberhalaan sesungguhnya (Pemberhalan
selama ini dipahami sebagai penyembahan patung, tanyakan pada mereka
yang biasa ditunjuk sebagai penyembah patung itu apakah yang
sesungguhnya mereka sembah, patung atau dewa atau Tuhan yang
diwakili oleh patung-patung tersebut)

Tuhan sebagai YANG ADA juga membuat pemahaman-pemahaman akan SHOLAT
sebagai komunikasi, sebagai usaha terus menerus untuk berdialog atau
berdialektika dengan Tuhan Yang Tiada, Tuhan yang tak berbentuk tak
berupa, tak meruang dan mewaktu, sehingga harus dilakukan terus
menerus, direduksi menjadi PENYEMBAHAN, aksi yang biasa dilakukan
terhadap berhala-berhala, kebenaran-kebenaran. Apakah Tuhan perlua
disembah? Tidak. Jika ada Tuhan yang gila kuasa seperti itu, akulah
yang pertama mengapaknya.


Z: kebenaran harus dipenggal seperti Ibrahim memenggal kepala Latah,
uzah, Watan dan Sanam. Itu terjadi jika yang berkuasa adalah orang
zalim. Yang mensalahkan orang yang benar. Melalui eksekusi-eksekusi
pemenggalan.
Sy sangat keberatan ketika kalimat "kebenaran harus dipenggal seperti
Ibrahim memenggal kepala Latah, uzah, Watan dan Sanam. " disatukan
karena tidak nyambung. Lihat sistematikanya: kebenaran harus
dipenggal (benar jika yang berkata orang zalim tapi menurut saya
salah) Ibrahim memenggal kepala Latah, uzah, Watan dan Sanam. (Benar
menurut sejarah yang anda ketahui).
pernyataan satu dan kedua benar keduanya tapi gak nyambung. ya tentu
tidak dapat diterima.

Karena kalimat tidak logis maka berarti ini datang dari emosi anda
ya!
rasul bersabda"Bukanlah orang yang paling kuat itu adalah orang yang
pandai Gulat, tapi orang yang bisa menahan emosinya"

N: OTAKMU ITU YANG NGAK NYAMBUNG. Mari dirunut, dengan referensi
pada keterangan sebelumnya: Jika Tuhan adalah air, dan kebenaran
adalah batu, dan dengan demikian memiliki sifat-sifat yang dapat
diperbandingan dengan berhala, ia harus dipenggal seperti Ibrahim
memenggal kepala latah, uzah, watan, dan sanam. Artinya
kebenaran=batu=berhalanisme.

Ketiga prinsip Aristoteles, identitas-kontradiksi-penyisihan,
disebut juga judgment system. Pada mulanya ditentukan dulu kategori-
kategori, kategori A dan oposisinya –A, lalu ditentukan mana yang
masuk A mana yang masuk –A. Proses penilain yang didasarkan pada
kategori-kategori yang disusun sebelumnya atau mendahului ini,
apriori dalam bahasa Kant, dalam lapangan ilmu logika atau penalaran
disebut ROCK LOGIC, LOGIKA BATU. Sebab kategori-kategori itu, yang
berusaha disusun begitu kuatnya dalam sebuah rasionalisasi, dan
bahkan naturalisasi hingga terasa tidak bisa lagi dipertanyakan,
absolut, yang kemudian disebut POSTULAT atau AXIOMA, menjadi BATU
LANDASAN bagi seluruh sistem penilaian. Jika BATU itu keropos maka
seluruh PENILAIANNYA keropos. Seluruh sistem KEBENARAN berdiri di
atas LOGIKA BATU, tanpa itu tidak dapat dibangun sebuah sistem
kebenaran apa pun.

Di samping ROCK LOGIC terdapat apa yang disebut FLOW LOGIC. Berbeda
dengan ROCK LOGIC, FLOW LOGIC tak berangkat dari apriori-apriori
tertentu, pertanyaan yang diajukan bukan "Apakah itu?"
tetapi "Bagaimana itu?", "Mengapa itu?". Fokus dari FLOW LOGIC
bukanlah penilaian, atau penyisihan, tetapi pemahaman.

FLOW LOGIC disebut juga WATER LOGIC, karena sifat-sifat air yang
mengalir, tidak berbentuk, tidak berwarna, atau tanpa identitas,
kecuali identitas wadahnya. FLOW LOGIC pertama-pertama melakukan
sebuah affirmasi, kemudian mengajukan pertanyaan mengapa dan
bagaimananya (Vorsicht), dan selanjutnya melakukan displacement yang
akan menjadi konsep selanjutnya (Vorgriff),

Dua logika tersebut karena sifat-sifat yang diwakili dari air dan
batu, , sebagaimana dalam banyak kebudayaan air seringkali
dilawankan dengan batu, bahkan lebih dari itu kekuatan air sering
dimenangkan dalam oposisi tersebut (di Sunda ada pepatah yang
menggambarkan bagaimana air dapat melubangi batu, di China kita
mendapatkan THAICI, jurus air yang selalu berhasil mengalahkan jurus-
jurus bumi, seperti TINJU BESI, atau semacamnya. Dalam FLOW LOGIC,
dipakai pula ROCK LOGIC, hanya saja dipahami benar sifat-sifat
kesementaraan dari batu-batu dalam ROCK LOGIC, terutama pada stasi
affirmasi.


DAN INTERPRETASI APA INI :"Itu terjadi jika yang berkuasa adalah
orang zalim. Yang mensalahkan orang yang benar". Interpretasi UDIK
kayak gini kau pamerkan padaku, dan mengaku pintar gulat? Apa karena
ada Ibrahim di sana yang secara apriori kau anggap benar? Aku
bertanya, jika kutebang cungkup masjid karena orang-orang telah
memberhalakan Allah, siapakah yang zalim? Para "penyembah berhala"
itu sama merasa benarnya dengan Ibrahim, bahkan masuk lebih dalam
pendapat Ibrahim bahwa Berhala tidak bisa memberikan apa-apa
sehingga tidak boleh disembah, adalah pernyataan yang tidak bisa
dipertanggung jawabkan, karena penyembah berhala tidak pernah
menyembah berhala an sich, dan apa itu pembuktian fungsionalis
Tuhan, bahwa Tuhan seharusnya bisa memberi yang kita minta? Apakah
kalkulasi-kalkulasi ekonomis seperti itu yang seharusnya dibangun
dalam relasi manusia dengan Tuhan; pahala 7 x lipat, surga dengan
bidadari cantik. Lalu mana prinsip keikhlasan. Maka jangan heran
jika Islam menumbuhkan mental-mental koruptif.


Z: " Aku bertanya kepadamu Zar kamal, apakah kau ingin memberhalakan
Tuhan. memberhalakan Allah yang bahkan telah menyatakan dirinya
sebagai yang berarsyi di atas air, tak berbentuk tak berupa? Apakah
kau juga ingin memberhalakan qur'an dan Muhammad?"
Siapa yang memberhalakan Allah? Apakah ada pernyataan saya akan hal
itu. Saya menjelaskan tentang "istiwa alal arsyi" bukan berarti Allah
diam di arsyi. Jika diam berarti bertempat jika bertempat berarti
makluk. Masa Allah disamakan dengan makhluk. (Pembasannya panjang).
Jadi pernyataan Anda telah menyamakan Allah dengan makhluk dengan
menafsirkan "istiwa alal arsyi" Allah berarsyi di atas air.
Apakah kau juga ingin memberhalakan qur'an dan Muhammad?
Anda tahu kalimat diatas anda telah menuduh seseorang kafir, musyrik.
Sedangkan anda tidak dapat membuktikan kekafirannya dan
kemusrikannya.
Jika anda menuduh tanpa bukti maka anda akan mendapatkan hukuman
bahwa
barang siapa yang menuduh seseorang muslim musyrik maka tuduhan itu
akan kembali ke dirinya sendiri.

N: PENGECUT TIDAK TAHU DIRI. Segala sesuatu tidak harus eksplisit
DONGOK. Kecuali kau orang Samin. Sekarang kau tahu di mana letak
kemusrikanmu? Kau takut dituduh musyrik? Aku tidak. Apakah yang
kutakutkan ketika aku tidak lagi merindukan surga, dan tidak takut
pada neraka?

Sekarang tentang "istiwa alal arsyi", apakah aku
menginterpretasikannya secara heuristik seperti itu, sebagaimana
yang telah kau tuduhkan. Tidak pernah. Allah berarsyi di atas air
aku jelaskan secara allegoris, bahwa dengan penggambaran itu artinya
Allah tidak bisa dikenakan prinsip identitas, Allah tidak bisa
dijelaskan dalam term-term YANG ADA. Lalu dari mana pikiranmu bahwa
aku menginterpretasikan bahwa Alla duduk menempati ruang? Apa bukan
dalam pikiranmu sendiri, alam bawah sadarmu sendiri, yang kau
proyeksikan pada diriku? Sebab YANG ADA SELALU MENEMPATI RUANG DAN
WAKTU.

ATAS TUDUHANMU ITU, MAKA SIAPAKAH KINI YANG MENUNJUKAN SATU JARINYA
KE DEPAN SEMENTARA KEEMPAT JARINYA MENUNJUK DIRINYA SENDIRI. HA HA
HA....

Z: Gini kang, Kemunduran kaum muslimin adalah terjadi ketika ilmu
tentang
kebijaksanaan telah dihilangkan (ilmu filsafat, ilmu logika). Secara
historis anda membrowsing. Karena ilmu2 tersebut merupakan kaidah
dasar untuk menyusun cara berpikir logis. Jika orang tidak
mempelajari
ilmu2 tsb maka orang tidak dapat menyusun cara berpikir logis. Jika
tidak berpikir logis tidak beraturan alias tidak berakal. Apakah
ajaran Allah diberikan kepada orang-orang yang tidak berakal, cara
berpikir yang tidak beraturan, tidak bisa membedakan antara
benar/salah, ada dan tiada. Saya kira tidak kang.

N: KEMUNDURAN KAUM MUSLIMIN YA KARENA ORANG-ORANG SEPERTIMU ITU,
YANG TIDAK PERNAH BELAJAR TEKUN TAPI SUKA BUANG KENTUT, YANG HANYA
MENGULANG DOGMA-DOGMA LAMA TANPA MEMIKIRKANNYA KEMBALI, YANG MEMBACA
ATAS NAMA TUHAN TANPA MENGINGAT DIRINYA ADALAH SEGUMPAL DARAH.
JANGAN SALAHKAN ORANG BARAT, ATAU SIAPAPUN DI LUAR DIRIMU. LAGI PULA
PENDAPATMU TENTANG ORANG BARAT YANG ATHEIS TERLALU MENGENARALISIR,
BACA LAGI SEJARAH FILSAFAT ISLAM, BAHKAN SEJARAH AGAMA-AGAMA.

Zar Alkamal, sungguh kau ini masih mengkal, sama sekalih mentah
bahkan. Kau tahu kenapa. Seorang cantrik (murid) tidak pernah
diperbolehkan bicara, bahkan ketika ia dizalimi? Sebagai seorang
murid ia harus berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, berpikir
luas, dua kali, jauh kedepan, terbuka (kemungkinan pendapat kita
perlu direvisi atau ditinggalkan keseluruhannya atas dasar informasi
yang baru), kritis (introspeksi-retrospeksi), dengan demikian ia
bisa mendapatkan hikmah atau pikirannya sendiri.

Mengapa aku sampaikan kepadamu sikap-sikap seorang murid, karena
sikap-sikap itu juga merupakan pedoman dalam penalaran atau logika,
sesuatu yang kau agul-agulkan, bahkan hingga kau pun tak dapat
membedakan mana akal, mana penalaran, dan selanjutnya mana penalaran
dan mana penalaran Aristotelian. Silogisme (Yang sesungguhnya
merupakan bentuk penalaran Leibniz yang diletakan atas prinsip-
prinsip identitas, kontradiksi, dan penyisihan, namun secara umum
dikaitkan dengan Aristoteles dan disebut Aristotelian—Silogisme
merupakan bentuk penalaran deduktif dari prinsip cukup alasan yang
ditambahkan oleh Leibniz pada penalaran Aristotelian) hanyalah salah
satu bentuk penalaran, hanyalah salah satu bentuk logika, ada banyak
sistem logika atau penalaran dalam sejarah filsafat atau sejarah
pemikiran manusia. Bahkan dalam pencampuradukan ini kau telah
menyalahi prinsip "identitas Aristotelian", atau "silogisme
kategoris", atau dalam terma-terma logika simbolik, "logika
himpunan".

Inilah penalaran implisit dari kesimpulanmu:

Mayor: Logika adalah ilmu penalaran
Minor: Logika Aristoteles adalah sebuah ilmu penalaran.
Konklusi: Ilmu penalaran adalah logika Aristoteles.

Tentu saja fallacy ini dapat dimaafkan, karena agaknya lahir dari
kekurangan data dan ketergesaan mengambil kesimpulan.

Mengapa dapat dimaafkan?

Silogisme adalah penalaran formal, ia tidak menggubris isi dari
sebuah pernyataan atau data, ia tidak menguji proposisi tetapi
penarikan kesimpulan. Sebab itu silogisme tidak pernah membawa
pemahaman baru, ke "kebenaran" (kata kebenaran diberi tanda kutip,
sebab kata ini, seperti kata lainnya dipergunakan dalam makna yang
berbeda-beda, dalam kebenaran yang berbeda-beda – penggunaan kata
ini saja menunjukan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, tidak
ada makna absolut, satu, tidak ada petanda terakhir, bahkan ketika
kau menyebut kata "Tuhan" atau lebih khusus lagi "Allah", tidak usah
diperbandingkan dengan orang lain, tetapi saat-saat di mana kau
mengucapkannya, memiliki makna atau isi yang berbeda. Aku beri
contoh: ketika kau mengucapkan "Tuhan" pada saat sedih atau marah
atau bahagia, makna dalam kata "Tuhan" itu sendiri tidaklah sama.
Kau akan mengatakan, "Tetapi ia mengacu pada Tuhan yang sama, Tuhan
Yang Menciptakan Langit dan Bumi, Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhan
yang Maha Besar. Baiklah, tetapi Tuhan Yang Menciptakan Langit dan
Bumi yang mana, Tuhan yang Maha Besar yang mana, Tuhan yang Maha
Pengasih yang mana? Dari tiga kondisi saat kau mengucapkan Tuhan,
paling tidak kau mendapatkan Tuhan sebagai Penolong (sedih), Tuhan
sebagai Penjahat (marah), Tuhan sebagai Dermawan (bahagia). Atas
dasar kesejarahan silogisme yang nostalgik, yang menuju masa lalu,
itulah maka Bacon menolak logika Aristotelian.

Problem laten dari silogisme adalah kecukupan atau keluasan atau isi
premis. Seberapa cukup premis-premis sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang benar. Jika kecukupan atau keluasan atau isi itu
tidak pernah tercapai bagaimana dapat ditarik sebuah kesimpulan yang
benar, bagaimana dapat ditemukan sebuah kebenaran, apalagi kebenaran
yang universal, meliputi segalanya, merangkum segalanya.

Jika kau mempelajari logika Aristotelian, kau akan mendapati bahwa
proposisi metaforik tidak dapat dinilai, yang dapat dinilai adalah
proposisi yang definitif, artinya Subjek lebih kecil dari predikart
(Sidentitasnya diasumsikan semakin jelas, tetapi itu tidak pernah
tercapai.

"Siapakah Zar Alkamal?" katakanlah, ia adalah laki-laki berumur 18
Tahun, anak pasanagan A& B, tinggal di daerah C, pelajar atau
pegawai D, punya adik , F, G, H, dari keluarga baik-baik....

Tapi apakah laki-laki? Sebut saja ia dikontraskan dengan perempuan,
makah apakah perempuan, mengapa laki-laki berbeda dengan perempuan?
Dst. Apakah arti 18 tahun? Dalam sistem penanggalan atau
penghitungan waktu apa? Apakah 18 tahun itu dapat diartikan sebagai
usia mental atau fisik, apakah arti dari 18 tahun secara
fisik?...Dst, pertanyaan ini tidak akan pernah usai, identitas Zar
Alkamal tidak pernah diketahui sungguh-sungguh. Identitas Zar
Alkamal atau apapun hanya dapat diketahui dalam kesementaraan. Belum
lagi berhadapan dengan perubahan-perubahan kualitas atau koordinat
dari subjek (dalam lapangan lingustik dua hal tersebut disebut
konteks dan koteks) misalnya, apakah Zar Alkamal 19 tahun sama
dengan Zar Alkamal 18 tahun, apakah Zar Alkamal detik ini sama
dengan detik sebelumnya atau detik selanjutnya, apakah Zar Alkamal
di ruang A sama dengan Zar Alkamal di ruang B? Dalam prinsip
identitas Aristotelian jawabannya adalah tidak, seberapa pun Zal
Alkamal A dan B memiliki kesamaan ia merupakan sesuatu yang berbeda.
Lalu bagaimanakah orang mengenal atau mendefinisikan Zar Alkamal?
Lewat generalisasi, dan itu tidak definitif, dan karena tidak
defintif, ia tak dapat diukur, tak dapat ditentukan kebenaran atau
kesalahan dari pengenalan tersebut, yang entah bagaimana dalam
pemahaman banyak orang mengenai ilmu logika, generalisasi, seperti
halnya tautologi, dan beberapa penarikan kesimpulan lain, dianggap
salah, tidak logis. Padahal ia merupakan sistem penalaran lain yang
oleh Aristoteles disebut sebagai logika tradisional, dan dibedakan
dengan logika ilmiah (simbolik maupun formal).

Bahwa proposisi definitif itu tidak mungkin, sehingga menggagalkan
seluruh proyek silogisme, kecuali dalam kesementaraan, hanyalah satu
hal. Marilah kita masuk lebih lanjut pada metafor atau yang
metaforik dalam kaitannya dengan logika Aristotelian, dengan
mengajukan pertanyaan, adakah sesuatu di luar yang metaforik?

Jika bahasa adalah cara manusia mengenal, memahami, dan
menggambarkan realitas, maka tidak ada sesuatu di luar yang
metaforik, termasuk kata metafor itu sendiri, yang diambil dari
sebuah jargon (jargon biasa diartikan sebagai bahasa khusus dalam
lapangan ilmu pengetahuan tertentu—di Indonesia kata ini
mendapatkan konotasi negatif, menjadi semacam "omong kosong") dalam
ilmu teknik. Aristoteles mendefinisikan metafor sebagai penggantian
satu dengan lainnya, transegeresi terus menerus dari genus, ke
species, dan lain sebagainya, atau sebaliknya, tanpa awal atau
akhir. Walaupun Aristoteles mengajukan definisi seperti itu namun
dalam prakteknya ia mensyaratkan metafor di atas simetri, yang
artinya mengandaikan adanya sebuah awal atau akhir yang menjadi
matriks dari sebuah metafor. Ini adalah sebuah kontradiksi, yang
muncul karena dorongan-dorongan akan being as presence, ada sebagai
kehadiran, sebuah logosentrisme, atau logologi, yang bentuknya
seperti pemahamanmu akan Tuhan=Ada=Makna=Realitas=Kebenaran.

Selanjutnya, jika tidak ada yang tidak metaforik, jika semuanya
adalah metafor, tak ada apapun yang bisa dilakukan oleh silogisme,
sebab ia tak memiliki landasan ontologis dan atau epistemologis.
Tanpa identitas definitif = tidak ada kontras = tidak ada penyisihan
(eksklusi/inklusi)= tidak ada kecukupan alasan=tidak ada atau tidak
bisa ditarik konklusi atau penilaian benar/salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar