INDUSTRIALISASI VS "EKONOMI CHARKHA": SEBUAH PELAJARAN DARI INDIA
Two roads diverged in a wood, and I –
I took the one less traveled by
And that has made all the differences
………………..
Yet knowing how way leads on to way
I doubted if I should ever come back .
(Robert Frost, 1953)
PENGANTAR
Konon, pada saat Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru, menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 27 Mei 1964, yang tergeletak di samping peraduannya bukan Vedda, bukan pula Bhagavad Gita, tapi sajak karya penyair Amerika Robert Frost (Mellor, 1976). Sajak tersebut menggambarkan kegundahan hati beliau menjelang ajal: antara pasrah dan risau karena merasa tugasnya di dunia belum tuntas. Di tahun-tahun terakhir, disaksikannya dengan trenyuh kemelaratan dan pengangguran tetap mewarnai kehidupan rakyat banyak. Makin jauh rasanya dari cita-cita “masyarakat sosialis ala India yang adil dan makmur” yang dikumandangkannya sejak 17 tahun silam.
Sebelum merdeka, anak benua seluas 3,3 juta km2 itu telah menjadi pemasok bahan mentah dan pangan serta menjadi pasar bagi hasil industri negara penjajahnya sejak 1857. Rasanya bagai sepanjang zaman India menghadapi masalah kemiskinan dan keterbelakangan, tidak saja akibat penjajahan tapi juga struktur sosialnya yang timpang. Wacana untuk menyongsong hari depan dengan pembangunan terencana marak menjelang kemerdekaan. Beberapa kalangan telah menyusun rancangan: Bombay Plan dari para industriawan, People’s Plan dari Partai Buruh, dan rancangan Partai Congress yang digodog Nehru dan kawan-kawan (Alliband, 1983).
“EKONOMI CHARKHA”: KONSEP PEMBANGUNAN GANDHI
Falsafah Dasar Gandhianisme
Salah satu konsep pembangunan yang diterima sebagian besar rakyat adalah untaian ajaran Mahatma Gandhi, yang tumbuh dari pemahaman dan kebersamaannya dengan rakyat kecil. Semangat juang membela hak rakyat sudah semi sejak Mohandas Karamchand Gandhi bekerja di Afrika Selatan, setelah kelulusannya dari pendidikan hukum di Inggris, dalam menghadapi diskriminasi terhadap warga India. Tapi baru setelah Gandhi pulang ke India di tahun 1915 dan menggabungkan diri dalam perjuangan kemerdekaan tanah airnya, gagasan-gagasan Gandhi berkembang berakar menjadi satu ideologi yang dikenal sebagai Gandhiisme atau Gandhianisme.
Gandhiisme berlandaskan dua ajaran pokok, yaitu Satyagraha dan Sarvodaya, yang bukan hanya merupakan strategi melawan penjajahan Inggris, tapi merupakan falsafah dasar pembangunan yang berazaskan perubahan struktural. Satyagraha secara harfiah berarti “berpegang kepada kebenaran” dan merupakan falsafah hidup bagi siapa saja yang bertakwa dan berbakti kepada Tuhan. Ada beberapa prinsip yang terkandung di dalam Satyagraha, termasuk satya (kebenaran), ahimsa (anti-kekerasan, kasih sayang), brahmacharya (kesucian, tak kenal takut, kendali-diri), swadeshi (swasembada), tidak-serakah, kerukunan antaragama, dan anti pembedaan kelas (Gandhi, 1951). Prinsip yang terakhir ini krusial bagi India, karena menghendaki penghapusan kasta yang merupakan sumber ketidakadilan dan apatisme. Anggota kasta terrendah, sudhra, dianggap sebagai mahluk yang haram untuk disentuh (the untouchables). Walaupun dirinya adalah seorang Hindu yang taat, Gandhi menghargai golongan sudhra sederajat dengan anggota kasta lain, dan menyebut mereka kaum “harijan” (anak Dewa). Sikapnya yang kontroversial di negara yang didominasi Hindu ini dipertegas dengan pernyataannya, bahwa ia lebih suka melihat agama Hindu punah, daripada membiarkan pembedaan kasta berlangsung terus (Nelson, 1969).
Sarvodaya adalah tatanan sosial berdasarkan kasih-sayang, di mana tiada seseorang atau satu golongan pun yang ditindas, dieksploitasi, atau dimusnahkan oleh yang lain. Cara untuk membebaskan diri dari eksploitasi juga harus tanpa-kekerasan, dengan menggugah hati nurani dan perasaan si penindas melalui tirakat dan sikap yang terhormat, sehingga si penindas mau mengubah sikap dan perilaku mereka secara sukarela. Tujuan akhirnya adalah mencapai “demokrasi sarvodaya” yang berkeadilan sosial, di mana warga masyarakat yang terakhir sama haknya dengan warga masyarakat yang pertama (Gandhi, 1951). Untuk melaksanakan prinsip antieksploitasi dan mengasihi kaum miskin yang diamanatkan dalam sarvodaya, Gandhi menyarankan reformasi radikal dalam sistem pemilikan tanah (Nelson, 1969):
“…… land, the instrument of production, should not be denied to him who works on it. To refuse land to a cultivator is to refuse him his means of livelihood, and thus reduce him to a state of helplessness, whereby he become a victim of exploitation and enslavement…….”
Fatwa ini melahirkan “bhoodan” (gerakan penghibahan tanah) dipimpin AV Bhave, yang mengimbau para tuan tanah agar mau menghibahkan sebagian tanahnya kepada para tunakisma. Sampai tahun 1957 gerakan ini berhasil mengumpulkan 50 juta are tanah untuk dibagikan kepada petani (Agarwal, 1975). Gagasan ini juga berkembang menjadi “sampatidan” (gerakan penghibahan kekayaan) dan “shamadan” (penghibahan tenaga kerja). Sistem “samindari” dan “ryotwari” yang memberikan hak kepada para tuan tanah untuk memungut pajak dan memaksakan bagi-hasil yang tidak adil, merupakan sisa feodalisme yang merupakan sumber eksploitasi, harus dihapuskan. Tanah harus diberikan oleh negara melalui pemerintah desa berdasarkan perjanjian sewa-beli jangka panjang kepada mereka yang benar-benar menggarapnya, dan pemilikan tanah guntai (absentee) harus pula dilarang (Singh, 1981).
Falsafah mengasihi kaum miskin yang terkandung dalam satyagraha dan sarvodaya mengarahkan perencanaan ekonomi kepada pembangunan pedesaan. “Sementara Inggris telah mengeksploitasi India melalui perkotaan, perkotaan telah mengeksploitasi pedesaan “, kata Gandhi, “dan hal itu sangat tidak adil” (Vepa, 1975). Oleh karena itu, maka pertanian harus dijadikan perhatian utama, karena sektor inilah yang memberikan sumber kehidupan yang berkesinambungan bagi rakyat.
Mengasihi sesama berarti juga mengasihi mereka yang beragama lain dan kaum perempuan yang tertindas karena tidak dianggap sejajar dengan pria. Sikapnya yang merindukan kerukunan beragama ditunjukkan dengan hubungannya yang dekat dengan kaum Muslim. Bekerjasama dengan Mohammad Ali, yang kemudian menjadi pemimpin Pakistan , Gandhi ikut mendirikan Jamia Milia Islamiah (Universitas Muslim Nasional) (Singh, 1968). Gandhi juga memperjuangkan kesetaran jender bagi kaum perempuan yang tertindas, dan menganjurkan kaum pria agar mereka bahu-membahu dengan perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Pembangunan sektor nonpertanian sebagai sarana peningkatan standar hidup dan penyedia lapangan kerja juga diperhatikan. Dalam kerangka ini Gandhi menyarankan pengembangan industri rumahtangga pedesaan, karena mayoritas rakyat hidup di pedesaan, bukan di perkotaan, dan mereka miskin karena menganggur atau setengah-menganggur. Dipilihnya “charkha” (alat-pintal tangan) sebagai lambang semua jenis industri rakyat yang padat-karya (Singh, 1981). Beliau menolak pembangunan industri besar padat-modal model pembangunan ekonomi Barat yang hanya akan melemparkan ribuan penganggur mati kelaparan di jalan-jalan, sementara beberapa gelintir industrialis menumpuk kekayaan (Gandhi, 1951).
Otonomi Daerah
Dalam hal administrasi pemerintahan, Gandhi sudah mengenal “otonomi daerah” dengan menganjurkan desentralisasi yang terpusat pada produksi dan pemerintahan. Satuan pemerintahan lapis terbawah adalah “panchayat desa”, yang harus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Beberapa desa membentuk satuan pemerintahan lapis kedua yang disebut “gramsangh panchayat” (dewan kelompok desa) yang mengkoordinasikan kegiatan desa-desa di wilayahnya. Beberapa gramsangh panchayat membentuk pemerintahan yang lebih tinggi semacam “tahsil” atau “taluka” (setingkat kota), dan selanjutnya tingkat pemerintahan tertinggi adalah dewan-kabupaten (Agarwal, 1944). Sistem pemerintahan desa atau “panchayati raj” ini merupakan dasar dari “demokrasi sarvodaya” menurut konsep Gandhi.
Pendidikan, Pendampingan dan Koperasi
Ketika mengunjungi Champaran, Bihar , di tahun 1916, Gandhi menyaksikan penduduk yang begitu miskin, sehingga perempuan hanya punya satu sari yang melekat di tubuh, sehingga tidak bisa mencucinya. Desanya juga kotor, lumpur di mana-mana. Sebab utama kemiskinan, menurut Gandhi, adalah ketidakacuhan rakyat (Nandwani, 1982) karena hidup yang sengsara dan tiada seorang pun memperjuangkan nasib mereka. Dengan bantuan para pengikut setianya, dimulainyalah program pendidikan massal tentang kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan kebersihan umum. Didirikannya pula sekolah desa di kawasan itu untuk memberi pendidikan dasar bagi anak-anak. Untuk meningkatkan status perempuan, diajarkannya memintal dan baca-tulis, dengan bantuan Kasturba, istrinya (Gandhi, 1968).
Di tahun itu pula Gandhi mengkampanyekan gerakan “swadeshi” (penggunaan produk dalam negeri) yang bertujuan mengembangkan industri dalam negeri dan menghemat devisa. Untuk memperkuat posisi-tawar industri rakyat disponsorinya pendirian koperasi dengan nama “All India Spinners Association” (Asosiasi Penenun Seluruh India ) di tahun 1925, dan “All India Village Industries Association” (Asosiasi Industri Pedesaan Seluruh India ) di tahun 1934, dengan tujuan untuk mempromosikan kain tenun dalam negeri (khadi) dan pembangunan pedesaan yang menyeluruh (Nandwani, 1982).
Wawasan Gandhi bertambah luas setelah ia bermukim di Sevagram, bagian timur Maharasthra, sejak 1936. Satyagraha Ashram-nya tidak hanya mengajarkan kesehatan sederhana, menenun dan baca-tulis, tapi juga metode pertanian modern. Diletakkannya satu falsafah dasar yang kemudian menjadi tujuan pendidikan penyuluh pertanian, yakni “mengajari orang semangat untuk menolong dirinya sendiri” (Nandwani, 1982). Dilihat dari konsep pembangunan, ajaran Gandhi lengkap mencakup pembangunan pedesaan terpadu yang lahir sekitar dua dasawarsa kemudian: pembangunan sektor pertanian, pengembangan industri rumah-tangga pedesaan, peningkatan pendidikan dasar. Landasannya adalah reformasi sosial untuk menyingkirakan segala hambatan pembangunan, yaitu pembedaan kasta (untouchability), ketimpangan sistem penguasaan tanah, ketidaksetaraan jender, kecanduan minuman keras, dan konflik antaragama. Praktek pengembangan komunitas yang dilakukannya di Champaran dan Sevagram merupakan model penyuluhan ataupun pendampingan yang dijalankan di masa kini, yakni pelatihan para penyuluh, pelatihan teknologi pertanian modern kepada petani, pelatihan ketrampilan nonpertanian (off-farm), ekonomi rumahtangga untuk perempuan, dan pemberantasan buta-aksara.
ANTARA GANDHI DAN NEHRU
Walaupun Gandhi dan Nehru merupakan dwitunggal dalam memimpin perjuangan melawan Inggris, perbedaan pendapat di antara keduanya tidak bisa disembunyikan, terutama dalam konsep pembangunan. Sejak Oktober 1945, ketika kelompok kerja Partai Congress merumuskan tujuan sosial dan ekonomi partai setelah kemerdekaan, keduanya terlibat dalam satu polemik hangat. Gandhi berusaha meyakinkan Nehru, bahwa apabila India ingin mencapai kemerdekaan yang hakiki, pembangunan harus dimulai dari bawah, melalui pembangunan pedesaan, karena rakyat hidup di pedesaan, bukan di perkotaan. Sebaliknya Nehru berpendapat bahwa desentralisasi ekonomi dan otonomi desa merupakan langkah mundur ke arah primitivisme. Tanpa berusaha menyembunyikan perbedaan pendapatnya dengan seorang tua yang dianggap sebagai Bapak Negara, Nehru berkata dengan lugas (Narayan, 1978):
“….. I do not understand why a village should necessarily embody truth and non-violence. A village, normally speaking, is backward intellectually and culturally, and no progress can be made from a backward environment. Narrow-minded people are much more likely to be untruthful and violent ………”
Tidak terlalu mengherankan bila diingat ia dibesarkan di tengah keluarga brahmana Kashmir yang kaya, diajar oleh guru privat berbangsa Inggris, berteman anak-anak maharaja, dan mengakui dirinya seorang borjuis (Gujral, 1979). Polemik berlanjut pada saat Panitia Persiapan Kemerdekaan menyusun rancangan konstitusi, karena gagasan panchayati raj tidak dimasukkan. Gandhi menulis dari padepokannya di Sevagram di berkala Harijan, bahwa hal itu merupakan kealpaan besar, apabila kemerdekaan ingin mencerminkan suara rakyat. Tapi melihat betapa bersikukuhnya Sang Perdana Menteri pada konsep yang bertolak belakang dengan pendapatnya, sikap si orang tua bijak itu sejak awal tercermin dalam suratnya kepada Nehru (Murti, 1969):
“…The difference between you and me appear to me to be so vast and radical that there seems to be no meeting ground between us …….”
INDIA SEPENINGGAL GANDHI
India memperoleh kemerdekaannya Agustus 1947, tapi bukan awal dari masa sukacita. Wilayah konflik yang majoritas Muslim memisahkan diri menjadi Pakistan . Tak lama kemudian, India kehilangan sesuatu yang lebih besar. Gandhi, yang sedang meratapi terkoyaknya negara, ditembak mati oleh Godse, seorang Hindu fanatik, pada 30 Januari 1948. Tiga butir peluru membawa tubuh-renta-berjiwa-agung ke nirwana, membawa pula nasib masa depan India.
Pelita I India dimulai tahun 1951, bertujuan menjaga keseimbangan antarsektor sebagai landasan proses pembangunan jangka panjang melalui sistem ekonomi “campuran”, yang memberi peran aktif kepada sektor pemerintah sambil membina kondisi yang kondusif bagi perkembangan sektor swasta. Pembangunan sektor pemerintah tidak mencapai target, namun terlihat kemajuan di bidang produksi barang industri dan pangan karena didukung musim yang baik, sehingga terdapat peningkatan pendapatan per kapita rata-rata 1,6% per tahun.
Pelita II adalah langkah menuju “pola masyarakat sosialis a la India” pentahbisan pemikiran Nehru, yang banyak diperdebatkan. Sebagai negara agraris, di mana 75% rakyatnya menggantungkan periuk nasinya pada sektor pertanian, Pelita II India mengutamakan pembangunan sektor industri berat. Yang rikuh menuding Nehru mengecam PC Mahalanobis, penasihatnya, yang dianggap sebagai “otak” Pelita II. Jauh sebelumnya, pada saat penunjukan anggota Komisi Perencanaan, rakyat bertanya-tanya dengan tidak adanya beberapa nama, termasuk JC Kumarappa, pendukung gigih Mahatma Gandhi. Sebagian lagi menyesali Dr. Rajendra Prasad yang menolak tawaran Nehru untuk menduduki jabatan ketua. Karena sesudah penolakan itu, yang diangkat Nehru menjadi ketua adalah ……“warga negara India bernama Pandit Jawaharlal Nehru”. Siapakah yang kuasa mencegah kehendak orang pertama India tersebut, setelah satu-satunya orang yang disegani tiada lagi? Selain kegandrungan Nehru kepada pembangunan industri di Rusia dan latar belakang kehidupannya, teori pembangunan “trickle-down” melalui industrialisasi memang sedang menjadi acuan di era 1950-an (Mellor, 1976), bahkan sampai kini.
Dan bertumbuhanlah sosok pabrik baja raksasa di Durgapur, Bhillai dan Rourkela, pabrik mesin dan alat-berat, di atas tanah yang gersang kekeringan. Anggaran untuk pertanian menyusut dari 31% di Pelita I menjadi 22% dan 20% di Pelita II dan III.. Industri padat-modal yang dibangun hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sehingga pengangguran bertambah rata-rata 5 juta per tahun. Sektor pemerintah yang diberi alokasi anggaran terbesar dan diharapkan menjadi leading sector, justru menjadi beban dengan inefisiensi dan birokrasinya. Impor suku-cadang dan mesin-mesin industri terus meningkat ditambah impor bahan pangan, inflasi yang tinggi, serta pertambahan penduduk menyebabkan neraca perdagangan India mengalami defisit terus-menerus selama dua dasawarsa. Pendapatan per kapita hampir tidak berubah setelah pelaksanaan tiga Pelita (Singh, 1981).
Suara Gandhi bak mengiang kembali lewat Gunnar Myrdal, peraih Nobel, yang memberikan sentilannya kepada pelaksanaan pembangunan India (Vepa, 1975):
“……if Indian Planning has not been more successful than it has actually been, the main explanation is that they have not kept so close, as they should, to the fundamentals of the teaching of the Father of the Nation ……”
Dan tercenunglah Nehru. Tercenunglah para tehnokrat dan politisi India . Sang Pandit bukannya negarawan yang buta mata dan buta hati. Setelah 17 tahun bersikukuh dengan model pembangunannya, dalam 2 tahun terakhir beberapa kali disebutnya nama Gandhi. Lima bulan sebelum meninggal, tercetus pengakuannya di depan parlemen, bahwa betapa pun cepatnya arus industrialisasi, sebagian terbesar rakyat ternyata belum tersentuh, dan tidak akan tersentuh untuk waktu yang cukup lama (Singh, 1981).
Apakah nasi telah terlanjur menjadi bubur? Roda sejarah memang tak bisa diputar balik, tapi langkah perbaikan setidaknya bisa dilakukan, bila mau…..
Walaupun beberapa gagasan Gandhi akhirnya diakomodasi dalam National Community Development Program, tapi dilaksanakan dengan setengah-hati. Para pekerja lapangan banyak yang bias kasta, yang memalingkan muka dari para petani sudhra. Pelatihan yang diberikan pun terpusat di bidang pertanian, tidak di bidang pemberdayaan sosial seperti konsep Gandhi. Akibatnya, manfaat dan hasil program revolusi hijau yang dilaksanakan secara massal tahap sesudahnya jatuh ke kalangan petani berkasta, bukan kaum harijan yang papa dengan secuil tanah mereka. Demikian pula walau panchayat raj akhirnya dilaksanakan, tapi wewenang yang diberikan kepada desa terbatas sekali, bukan menjadikan desa sebagai “republik kecil” seperti yang diinginkan Gandhi (Santhanam, 1984).
INDONESIA: MAU KE MANA?
Konglomerasi vs Ekonomi Kerakyatan
Tanpa diketahui banyak orang, polemik industrialisasi versus pertanian terjadi pula di Indonesia di awal 1950-an, antara Sumitro Djojohadikusumo, yang saat itu menjabat Menteri Perdagangan & Perindustrian, dengan Syafrudin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia. Sumitro, yang disertasinya menampilkan peran lumbung desa dan bank desa di masa depresi 1930-an, malah mengikuti arus industrialisasi. Sebaliknya Sjafrudin menganjurkan dana pemerintah yang cuma sedikit dicurahkan untuk pertanian, baik untuk ekspor maupun swasembada pangan. Lebih dua dasawarsa sesudahnya, Sumitro sempat mengakui kekeliruannya dengan ikhlas (Djojohadikusumo, 1989):
“….pandangan Saudara Sjafrudin yang diutarakan di tahun ’50-an banyak yang benar. ………saya……ingin menempuh jalan tembus dengan segera melakukan industrialisasi secara intensif dan meluas. Kurang disadari bahwa perombakan dari struktur ekonomi yang berat sebelah bersifat agraris menuju pada struktur ekonomi yang berimbang antarsektor merupakan suatu proses yang memerlukan pentahapan sendiri, bahwa pembangunan dalam arti perubahan struktural mencakup kurun waktu beberapa generasi………..”
Sejarah berulang ketika pemerintah Orde Baru menyemai dan menyuburkan konglomerasi di era ’80-’90-an. Dalihnya pasti karena industrialisasi adalah mutlak karena merupakan “tulang punggung” ekonomi kita. Lagi pula pendapatan per kapita rakyat kita menaik secara mantap, dan “fundamental ekonomi” kita kuat. Apakah yang dianggap pondamen ekonomi kita yang kokoh itu? Hasil ekspor barang industri yang meningkat meyakinkan, sehingga meningkatkan cadangan devisa, tapi juga mengandung komponen impor tinggi? Industri canggih yang kita banggakan lantaran produknya bisa kita tukar dengan beras ketan? Sudah kuat benarkah pertanian, landasan ekonomi kita? Orang pertanian boleh saja berbangga dengan tercapainya swasembada beras di tahun 1984, walau swasembada yang semu karena dilakukan “at all costs”, meninggalkan tunggakan tinggi, mengajarkan manipulasi kepada aparat kabupaten sampai desa, serta melunturkan moralitas perkreditan rakyat. Di luar swasembada yang tidak kuat bertahan lama, wajah pertanian yang berubah hanyalah hutan-hutan yang botak, sungai yang tercemar akibat eksploitasi habis-habisan, pengkaplingan bukit dan pantai oleh petani-berjas-berdasi.
Tak ada seorang pun pembuat kebijakan yang mengakui kekeliruan, mungkin karena begitu percaya kemujaraban ekonomi neoliberal, mungkin pula karena mereka ikut menikmati pertumbuhan bersama para konglomerat. Beberapa di antaranya bahkan menganjurkan bahwa kebijakan sebelum krisis harus tetap diteruskan karena telah membuktikan “keberhasilannya” (Mubyarto, 2002). Tidak ada konsep lain selain mengejar pertumbuhan, pemerataan adalah soal nanti, dan itu adalah gagasan sosialistis yang telah terkubur bersama runtuhnya tembok Berlin. Apakah krisis ekonomi tidak membuktikan bahwa apa yang kita sebut “pertumbuhan” itu keropos karena ketergantungan pada masukan dan dana dari luar? Hasilnya pun hanya menetes ke lingkungan terdekat saja: penguasa-konglomerat atau konglomerat-penguasa? Terpukau pada pertumbuhan yang ajeg telah mengundang keteledoran dengan membiarkan pinjaman luar negeri mengalir tak terbendung, dan keteledoran untuk menilai dan mengawasi cost-benefit dari industri-konglomerat beserta pelakunya (Seda, 2002). Ketika kita terjangkiti krisis mata uang, kelabakanlah mereka karena mahalnya input impor dan beban pinjaman dalam dollar, sehingga tak mampu mempertahankan produksi dan membayar hutang, akhirnya sektor perbankan kena imbas. Ratusan ribu pegawai di-PHK, mimpi buruk dari kebijakan ekonomi yang diyakini kebenarannya. Saat para penganggur itu berpikiran kembali ke desa, apa yang bisa mereka harapkan? Keluarga mereka sudah tidak bertanah lagi Yang menggarap tanah negara atau lahan tidur diusir pemilik baru yang tiba-tiba muncul, dijadikan perumahan, pertokoan, atau lapangan golf. Yang masih punya tanah pun tersisa sangat sedikit, petani gurem, yang untuk menghidupi keluarga saja tak cukup. Tanah yang terlalu sempit keberatan beban yang ditanggung, tidak mampu berinvolusi lagi…….Dan bergelandanganlah kaum miskin pedesaan di kota, menjadi peminta-minta, pemulung, atau buruh bangunan, Dan para PHK-wan yang tak bisa kembali ke desa, berjajar di pinggir jalan menjadi pengojek atau pedagang kaki lima. Nasib sial belum berakhir, karena tempat mereka mengais nafkah sering digusur. Kalau membangkang, lapak dan dagangan mereka diobrak-abrik petugas tramtib. Sungguh ironis. Pemerintahlah yang kebijakan ekonominya secara tak langsung membuat mereka jadi penganggur, dan juga tidak mampu memberi lapangan kerja kepada rakyat. Pemerintah pula yang untuk kedua kalinya mengusir mereka dari upaya bertahan hidup, hanya demi alasan sederhana: ketertiban kota!
Revitalisasi Pertanian atau PeRdesaan?
11 Juni 2005. Presiden SBY mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Kita perlu bersyukur, bahwa ada niat untuk mengoreksi kekeliruan di masa lalu, kembali kepada fitrah sebagai negara pertanian.
Ada dua hal yang menarik dari RPPK. Pertama adalah pemaparan peran multifungsi pertanian, terutama sebagai harkat hidup (way of life) sebagian besar masyarakat, tepatnya mungkin tanah adalah kehormatan diri seperti falsafah orang Jawa: sakdumuk bathuk, saknyari bumi Kedua, temuan bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi bangsa adalah sikap tidak peduli dan tidak semangat, sama seperti pendapat Gandhi. Hanya saja dalam konteks RPPK tidak jelas strategi mana yang diajukan untuk menghadapi kedua hal tersebut.
RPPK digodog oleh para pakar dengan lengkap sehingga adaptif dan akomodatif terhadap segala kemungkinan dan preventif terhadap segala sanggahan. Tapi bagi orang awam yang berpikir sederhana justru mengandung hal-hal yang membingungkan dan menimbulkan pertanyaan. Yang membingungkan misalnya adalah menyatakan tidak bermaksud sentralistik, tapi bagaimana pun sentralistik, tidak bermaksud menganggap sektor lain kurang penting, tapi mengedepankan pentingnya pertanian.Yang menimbulkan pertanyaan, misalnya, seberapa efektifkah perencanaan sentralistik dituruti oleh daerah di era otonomi daerah ini? Seberapa efektifkah upaya untuk menggalang “komitmen dari semua puhak terkait” (RPPK, p.12)? Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah kita tidak belajar dari pengalaman program-program sektoral di masa lalu, bahwa peningkatan produksi pertanian tidak banyak mengurangi kemiskian dan memperbaiki ketimpangan pendapatan di pedesaan sehingga timbul konsep “pembangunan pedesaan terpadu”yang multi-matra?(Mubyarto & Soetrisno,1988). Indonesia pernah melaksanakannya di bawah Proyek Pengembangan Wilayah (Provincial Area Development Project) di era 1973-1983, di mana produknya antara lain adalah Bappeda, yang diharapkan mampu menyusun rencana pembangunan sesuai kondisi dan aspirasi daerahnya masing-masing, dan lembaga keuangan pedesaan yang mandiri dan tetap hidup sampai kini. Sayang, kemudian Indonesia kembali ke sistem sentralistik karena pemerintah pusat tak mau kehilangan hegemoninya, dan nilai tambah PPW tak pernah disebut-sebut pemerintah, walau diteruskan oleh satu dua donor internasional.
Bukan hanya di India pasca-Gandhi manfaat revolusi hijau dinikmati petani berkasta, di Indonesia pun banyak bukti bahwa kredit Bimas di masa lalu juga banyak yang jatuh ke tangan petani bukan-gurem (Colter, 1984), dan program-program kredit lewat KUD cenderung dinikmati oleh para anggota yang beraset besar (Nasution, 1990). Pengembangan agroindustri pun, apa lagi bila dikaitkan dengan skala ekonomis, akan cenderung menjadi “agroindustri di pedesaan” milik perusahaan besar, bukan “agroindustri pedesaan” atau industri rumah-tangga yang dimiliki warga desa, yang dilambangkan dengan charkha oleh Gandhi. Hal inilah yang lebih mungkin terjadi, mengingat laju konversi lahan pertanian bertambah cepat, dan 5 perusahaan perkebunan swasta di tahun 1993 saja telah menguasai lebih dari satu juta ha lahan perkebunan (Sajogyo, 2002).
Pertanyaan lain adalah upaya untuk menahan laju proses penggureman, apakah cukup dengan perbaikan “manajemen pertanahan dan tata ruang” (RPPK, pp.46-48)? Jangan-jangan karena mau menegakkan hukum (butir h) justru para tunakisma penggarap tanah negara atau tanah guntai yang banyak diajukan ke meja hijau. Sumber daya air saja sudah mau dikomersialkan, yang berarti kemungkinan besar jatuh ke luar komunitas desa, bagaimana bisa melindungi tanah komunal dan sumberdaya lokal (butir f)? Mustahil rasanya bila perbaikan manajemen tata ruang dan pertanahan memungkinkan tunakisma memperoleh sejengkal tanah dan petani gurem memperluas tanahnya. Kalau memang menyadari bahwa tanah (pertanian) merupakan harkat hidup petani, dan bertujuan mengurangi kemiskinan di pedesaan, mengapa tidak menyebut kebijakan yang pasti diketahui setiap mahasiswa ekonomi pertanian tingkat S-2, yaitu landreform? Tanpa reformasi pemilikan tanah, harapan mengurangi laju penggureman petani dan memperluas penguasaan lahan petani (RPPK, p.36) akan tinggal harapan kosong, begitu pula tujuan menghilangkan ketidakacuhan dan semangat yang hilang dari masyarakat desa. Apakah sedemikian tabunya menyebut landreform karena berkonotasi PKI? Ataukah karena landreform berarti pemecahan kepemilikan tanah menjadi kecil-kecil, mungkin gurem, sehingga tidak mencapai skala ekonomis, sehingga tidak mendukung revitalisasi? “Revitalisasi” konotasinya adalah meningkatkan peran dan porsi, skala ekonomis memang sejalan dengan itu, makanya petani gurem diharapkan bisa memperluas lahannya agar mencapai.skala ekonomis. Tapi bagaimana cara memperluas lahan itulah yang tidak terjawab. Mustahil mengharapkan petani gurem memperoleh dan mampu melunasi kredit untuk membeli tanah. Rasanya memang susah menerima RPPK sebagai sarana pengentasan kemiskinan tanpa adanya landreform. RPPK sebagai upaya meningkatkan peran dan produksi pertanian saja rasanya cukup bisa diterima.
Strategi pembiayaan investasi dan modal kerja pertanian yang mengharapkan business plan perbankan dan lembaga keuangan mikro (RPPK, p.47) mungkin tidak akan sesuai dengan harapan, karena mengandung kekeliruan persepsi yang berasal dari zaman kredit program. Pertama, business plan adalah rencana kerja bank yang bersumber dana masyarakat yang diperoleh dengan harga pasar, bukan alokasi dana murah pemerintah yang mesti dihabiskan dalam setahun anggaran, oleh karenanya walau merupakan target yang ingin dicapai, tapi ditentukan pula oleh banyaknya calon nasabah yang layak. Kedua, kredit UMKM sendiri merupakan perubahan paradigma pengentasan kemiskinan dan pengembangan usaha kecil, yang telah lama meninggalkan program-program kredit murah sektoral, ke kredit mikro bersuku bunga pasar. Porsi kredit mikro untuk sektor pertanian umumnya paling kecil, karena merupakan refleksi mata pencaharian rakyat kecil, yang sudah tergusur dari atau tidak bisa hidup dari pertanian. Karena usaha off-farm yang paling gampang dilakukan adalah perdagangan kecil-kecilan (bakulan, mracang, warteg), maka sektor inilah yang umumnya menduduki porsi terbesar. Pradigmanya seharusnya dibalik: bukan perbankan yang harus ditekan supaya memberi porsi lebih besar kepada sektor pertanian, tapi sektor pertanian rakyatlah (bukan pertanian konglomerat) yang harus dibangun agar layak dan sehat untuk dibiayai perbankan. Selama pertanian rakyat masih rentan terhadap cuaca dan hama, harganya jatuh setiap panen, dan puso masih merupakan alternatif utama penyelesaian kredit bermasalah, susah diharapkan perbankan akan ramah kepada sektor pertanian. Apabila harapan akan meningkatnya porsi kredit pertanian dari perbankan tidak tercapai akankah dikumandangkan rayuan lama pendirian bank khusus pertanian?
Kegureman dan ketidaktahanan pangan adalah salah satu produk ketimpangan struktural yang mengakibatkan kemiskinan, bukan masalah kekurangan sediaan pangan dan produksi pertanian semata. Sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Indonesia Forum beberapa tahun yang lalu sepakat bahwa sumber segala kelemahan pengusaha kecil kita adalah rendahnya tingkat pendidikan. Di pedesaan, keterbatasan fasilitas pendidikan dasar pula yang menyebabkan kemiskinan tetap mengancam lapisan bawah pedesaan yang terdiri dari buruh tani dan petani gurem (Sajogyo, 2002). Solusi kegureman dan kemiskinan tidak cukup dengan integrasi kebijakan “di bidang pertanian” plus kebijakan di bidang-bidang lain “untuk pertanian” (RPPK, p.44), tapi kebijakan “di semua sektor untuk semua bidang”, tidak untuk pertanian saja, tapi juga kesehatan, pendidikan, prasarana pedesaan, dll. Jumlah rumah tangga petani dalam kurun 1975-1993 turun dari 48% ke 30%, sebaliknya rumah tangga bukan-petani di desa naik dari 18% ke 22% (Sajogyo, op.cit.), di samping itu, paling tidak ada 17% kabupaten/kota yang ekonominya tidak berbasis pertanian (RPPK, p.34), maka konsep pembangunan pedesaan terpadu rasanya lebih tepat daripada pembangunan (revitalisasi) pertanian. Dua hal tersebut nampaknya serupa, tapi tidak sama.
PENUTUP
Bila ajaran sarvodaya Gandhi mengajarkan welas asih kepada rakyat miskin, maka Ekonomi Kerakyatan ataupun Ekonomi Pancasila mengharapkan “keberpihakan” kepada rakyat kecil. Bila pengejawantahan rasa welas asih memerlukan reformasi sosial radikal seperti persamaan hak antarkasta dan reformasi pemilikan tanah, maka Ekonomi Kerakyatan dan semua kebijakan yang bertujuan mengurangi kemiskinan juga tidak akan efektif tanpa perombakan yang mendasar untuk menghilangkan sumber ketimpangan. Jangan mengira bahwa pembedaan kelas masyarakat hanya ada di India, di Indonesia pun marak dan terus berlangsung. Di saat rakyat kecil tambah melarat akibat wabah penyakit, bencana alam, kenaikan biaya hidup serta biaya usaha tani, dan anak kecil bunuh diri malu tak mampu bayar uang sekolah, para wakil rakyat tanpa malu menuntut kenaikan gaji yang besarnya bagi rakyat kecil seperti mimpi, sebuah lembaga tinggi memberi pejabatnya mobil dinas mewah, dan mobil mewah tingkat dunia bebas dipamerkan dan dibeli oleh orang kaya. Di saat maling ayam pasti dihukum di pengadilan atau tewas dihakimi massa, pemeriksaan bupati ke atas yang korup harus seizin Presiden, orang berpengaruh kadang luput dari penyidikan polisi dan yang diajukan perkaranya dibebaskan oleh pengadilan. Apa ini tidak lebih parah dari perbedaan kasta? Bukan hanya penegakan hukum, solidaritas dan tenggang rasa pun nampaknya sudah luntur dan harus dipaksakan. Di saat keberpihakan kepada rakyat didambakan, protes dan unjuk rasa rakyat atas kebijakan yang merugikan petani dan rakyat kecil hanya dianggap gonggongan anjing. Bukannya mengacu pada semboyan “land for the cultivators” seperti Gandhi, malah rakyat harus merelakan tanahnya diambil pemerintah demi “pembangunan”. Padahal Pancasila kita menghendaki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan agama mayoritas rakyat mencontohkan bagaimana penguasa harus berkorban untuk rakyat miskin.
Sejauh ini, kebijakan cenderung mengorbankan rakyat kecil, hampir tidak pernah ada yang mengorbankan orang kaya, bahkan kadang dilindungi dan bebannya dipikul negara seperti dalam krisis perbankan. Bisa jadi karena pemimpin yang menghayati penderitaan rakyat, seperti Gandhi, semakin langka. Bisa jadi karena memperjuangkan rakyat kecil tidak akan memperoleh apa-apa, malah mungkin kehilangan banyak hal. Seperti dulu, apabila rakyat kecil mengalami kemelaratan berkepan-jangan, satu-satunya yang mereka bisa hanyalah mengharapkan datangnya Sang Ratu Adil ……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar